Sabtu, 24 Desember 2016

Ibnu Abbas VS Khawarij

Ibnu Abbas VS Khawarij
(Renungan Bagi NgIsisers)

Kaum Khawarij adalah sekte pertama yang menyimpang dalam sejarah Islam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahkan berwasiat khusus mengenai kaum khawarij, beliau bersabda

تمرق مارقة على حين فرقة من أمتي يحقر أحدكم صلاته مع صلاتهم، وقراءته مع قراءتهم، يمرقون من الإسلام مروق السهم من الرمية، أينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجراً لمن قتلهم

“Mereka keluar saat terjadi perpecahan di antara umatku. Salah seorang diantara kalian (sahabat Nabi) akan menganggap remeh shalatnya dibanding shalat mereka. Kalian menganggap remeh baca’an Al Qur’an kalian dibanding bacaan mereka. Mereka itu keluar dari agama ini sebagaimana keluarnya panah keluar dari busurnya. Dimanapun kalian menemui mereka, bunuhlah mereka. Karena membunuh mereka itu berpahalanya bagi yang membunuhnya” (HR. Bukhari 3611)

Diantara aqidah kaum khawarij adalah menganggap kafirnya kaum muslimin pelaku dosa besar, dan meyakini bahwa mereka kekal di neraka. Demikian ciri khas kaum khawarij, yaitu terlalu mudah memvonis kafir kepada seorang Muslim. Bahkan di zaman Ali bin Abi Thalib dahulu, mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah dan juga mengkafirkan kaum muslimin yang tidak setuju dengan pendapat mereka.

Bahkan sebelumnya, mereka telah membangun pemberontakan terhadap khalifah Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu yang menyebabkan terbunuhnya Utsman. Ini pun merupakan salah satu sifat mereka, yaitu gemar mencari-cari kesalahan penguasa. Mereka juga berpendapat wajibnya menggulingkan penguasa yang mereka anggap salah dan zhalim. Sebagaimana ketika mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan bahwa Ali telah berhukum dengan selain hukum Allah yaitu berhukum kepada manusia. Mereka berdalil dengan ayat,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 44).

Namun Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhuma, seorang ulama yang faqih di kalangan para sahabat Nabi, merasa perlu untuk berbicara dengan mereka dalam rangka mendebat mereka dan mematahkan argumen mereka supaya mereka kembali ke jalan yang benar. Berikut ini dialog antara Abdullah bin ‘Abbas dengan kaum Khawarij.

Diriwayatkan oleh Imam An Nasa-i dalam kitab Al Khasha-ish Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib (190), dengan sanad yang hasan,

أخبرنا عمرو بن علي قال حدثنا عبد الرحمن بن مهدي قال حدثنا عكرمة بن عمار قال حدثني أبو زميل قال حدثني عبد الله بن عباس قال

‘Amr bin Ali mengabarkan kepadaku, ia berkata, ‘Abdurrahman bin Mahdi menuturkan kepadaku, Ikrimah bin ‘Ammar berkata, Abu Zamil menuturkan kepadaku, ia berkata, Abdullah bin ‘Abbas berkata:

لما خرجت الحرورية اعتزلوا في دار و كانوا ستة آلاف فقلت لعلي يا أمير المؤمنين أبرد بالصلاة لعلي أكلم هؤلاء القوم قال إني أخافهم عليك قلت كلا

Ketika kaum Haruriyyah (Khawarij) memberontak, mereka berkumpul menyendiri di suatu daerah. Ketika itu mereka ada sekitar 6000 orang. Maka aku pun berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib: “wahai Amirul Mu’minin, tundalah shalat zhuhur hingga matahari tidak terlalu panas, mungkin aku bisa berbicara dengan mereka kaum Khawarij”. Ali berkata: “aku mengkhawatirkan keselamatanmu”. aku berkata: “tidak perlu khawatir”

فلبست وترجلت و دخلت عليهم في دار نصف النهار وهم يأكلون فقالوا مرحبا بك يا ابن عباس فما جاء بك قلت لهم أتيتكم من عند أصحاب النبي المهاجرين والأنصار ومن عند ابن عم النبي وصهره وعليهم نزل القرآن فهم أعلم بتأويله منكم و ليس فيكم منهم أحد لأبلغكم ما يقولون وأبلغهم ما تقولون فانتحى لي نفر منهم

Aku lalu memakai pakaian yang bagus dan berdandan. Aku sampai di daerah mereka pada waktu tengah hari, ketika itu kebanyakan mereka sedang makan. Mereka berkata: “marhaban bik (selamat datang) wahai Ibnu ‘Abbas, apa yang membuatmu datang ke sini?”. Aku berkata: “Aku datang mewakili para sahabat Nabi dari kaum Muhajirin dan Anshar dan mewakili anak dari paman Nabi (Ali bin Abi Thalib). Merekalah yang membersamai Nabi, Al Qur’an di turunkan di tengah-tengah mereka, dan mereka lah yang paling memahami makna Al Qur’an. Dan tidak ada salah seorang pun dari kalian yang termasuk sahabat Nabi. Akan aku sampaikan perkataan mereka yang lebih benar dari perkataan kalian”. Lalu sebagian dari mereka mencoba menahanku untuk bicara.

قلت هاتوا ما نقمتم على أصحاب رسول الله وابن عمه قالوا ثلاث قلت ما هن قال أما إحداهن فانه حكم الرجال في أمر الله وقال الله إن الحكم إلا لله الأنعام 57 يوسف 40 67 ما شأن الرجال والحكم قلت هذه واحدة قالوا وأما الثانية فانه قاتل ولم يسب ولم يغنم إن كانوا كفارا لقد حل سبيهم و لئن كانوا مؤمنين ما حل سبيهم و لا قتالهم قلت هذه ثنتان فما الثالثة وذكر كلمة معناها قالوا محى نفسه من أمير المؤمنين فإن لم يكن أمير المؤمنين فهو أمير الكافرين قلت هل عندكم شيء غير هذا قالوا حسبنا هذا

Aku berkata lagi: “sampaikan kepada saya apa alasan kalian memerangi para sahabat Rasulullah dan anak dari pamannya (Ali bin Abi Thalib)?”. Mereka menjawab: “ada 3 hal”. Aku berkata: “apa saja?”. Mereka menjawab: “Pertama: ia telah menjadi hakim dalam urusan Allah, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah” (QS. Al An’am: 57, Yusuf: 40). Betapa beraninya seseorang menetapkan hukum!”. Aku berkata: “ini yang pertama, lalu?”. Mereka menjawab: “Kedua: ia memimpin perang (melawan pihak ‘Aisyah) namun tidak menawan tawanan dan tidak mengambil ghanimah. Padahal jika memang ia memerangi orang kafir maka halal tawanannya. Namun jika yang diperangi adalah orang mukmin maka tidak halal tawanannya dan tidak boleh diperangi”. Aku berkata: “ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?”. (Ketiga) Mereka menyampaikan perkataan yang intinya kaum Khawarij berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib telah menghapus gelar Amirul Mu’minin dari dirinya, dengan demikian ia adalah Amirul Kafirin. Aku lalu berkata: “apakah masih ada lagi alasan kalian?”. Mereka menjawab: “itu sudah cukup”.

قلت لهم أرأيتكم إن قرأت عليكم من كتاب الله جل ثناءه وسنة نبيه ما يرد قولكم أترجعون قالوا نعم قلت أما قولكم حكم الرجال في أمر الله فإني أقرأ عليكم في كتاب الله أن قد صير الله حكمه إلى الرجال في ثمن ربع درهم فأمر الله تبارك وتعالى أن يحكموا فيه أرأيت قول الله تبارك وتعالى يا أيها الذين آمنوا لا تقتلوا الصيد وأنتم حرم ومن قتله منكم متعمدا فجزاء مثل ما قتل من النعم يحكم به ذوا عدل منكم المائدة 95

Aku berkata: “bagaimana menurut kalian jika aku membacakan kitabullah dan sunnah Nabi-Nya yang akan membantah pendapat kalian? apakah kalian akan rujuk (taubat)?”. Mereka berkata: “ya”. Aku katakan: “adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib telah menetapkan hukum dalam perkara Allah, aku kan membacakan Kitabullah kepada kalian bahwa Allah telah menyerahkan hukum kepada manusia dalam seperdelapan seperempat dirham. Allah tabaraka wa ta’ala memerintahkan untuk berhukum kepada manusia dalam hal ini. tidakkah kalian membaca firman Allah tabaraka wa ta’ala (yang artinya): ‘Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan dalam keadaan berihram. Barang siapa yang membunuhnya diantara kamu secara sengaja, maka dendanya adalah mengantinya dengan hewan yang seimbang dengannya, menurut putusan hukum dua orang yang adil diantara kamu‘ (QS. Al Maidah: 95)”

وكان من حكم الله انه صيره إلى رجال يحكمون فيه ولو شاء يحكم فيه فجاز من حكم الرجال أنشدكم بالله أحكم الرجال في صلاح ذات البين وحقن دمائهم أفضل أو في أرنب قالوا بلى هذا أفضل وفي المرأة وزوجها وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها النساء 35 فنشدتكم بالله حكم الرجال في صلاح ذات بينهم وحقن دمائهم افضل من حكمهم في بضع امرأة خرجت من هذه قالوا نعم

Ini diantara hukum Allah yang Allah serahkan putusannya kepada manusia. Andaikan Allah mau, tentu Allah bisa memutuskan saja hukumnya. Namun Allah membolehkan berhukum kepada manusia. Demi Allah aku bertanya kepada kalian, apakah putusan hukum seseorang dalam mendamaikan suami-istri yang bertikai atau dalam menjaga darah kaum muslimin atau dalam masalah daging kelinci itu afdhal? Mereka menjawab: “iya, tentu itu afdhal”. Dalam masalah pertikaian suami istri, “Dan bila kamu mengkhawatirkan perceraian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (penengah yang memberi putusan) dari keluarga laki-laki dan seorang penengah dari keluarga wanita” (QS. An Nisaa: 35). Demi Allah telah bacakan kepada kalian diperintahkannya berhukum kepada manusia dalam mendamaikan suami-istri yang bertikai dan dalam menjaga darah mereka, dan itu lebih afdhal dari pada hukum yang diputuskan beberapa wanita. Apakah alasanmu sudah terjawab dengan ini? Mereka menjawab: “Ya”.

قلت وأما قولكم قاتل ولم يسب ولم يغنم أفتسبون أمكم عائشة تستحلون منها ما تستحلون من غيرها وهي أمكم فإن قلتم إنا نستحل منها ما نستحل من غيرها فقد كفرتم وان قلتم ليست بأمنا فقد كفرتم النبي أولى بالمؤمنين من أنفسهم وأزواجه أمهاتهم الأحزاب 6 فأنتم بين ضلالتين فأتوا منها بمخرج افخرجت من هذه قالوا نعم

Aku berkata: “adapun perkataan kalian bahwa Ali berperang (melawan pihak ‘Aisyah) namun tidak menawan dan tidak mengambil ghanimah, saya bertanya, apakah kalian akan menawan ibu kalian ‘Aisyah? Apakah ia halal bagi kalian sebagaimana tawanan lain halal bagi kalian? Jika kalian katakan bahwa ia halal bagi kalian sebagaimana halalnya tawanan yang lain, maka kalian telah kufur. Atau jika kalian katakan ia bukan ibumu, kalian kafir. ‘Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka (kaum mukminin)‘ (QS. Al Ahdzab: 6). Maka kalian berada di antara dua kesesatan, coba kalian pilih salah satu? Apakah ini sudah menjawab alasan kalian?”. Mereka menjawab: “ya”.

وأما محي نفسه من أمير المؤمنين فأنا آتيكم بما ترضون إن نبي الله يوم الحديبية صالح المشركين فقال لعلي اكتب يا علي هذا ما صالح عليه محمد رسول الله قالوا لو نعلم انك رسول الله ما قاتلناك فقال رسول الله امح يا علي اللهم انك تعلم إني رسول الله امح يا علي واكتب هذا ما صالح عليه محمد بن عبد الله والله لرسول الله ص خير من علي و قد محى نفسه و لم يكن محوه نفسه ذلك محاه من النبوة أخرجت من هذه قالوا نعم

Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali menghapus gelar Amirul Mu’minin darinya, maka aku akan sampaikan hal yang kalian ridhai. Bukankah Nabi shalallahu‘alaihi wasallam pada Hudaibiyah membuat perjanjian dengan kaum Musyrikin. Rasulullah berkata kepada Ali, “tulislah wahai Ali, ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad Rasulullah”. Namun kaum musyrikin berkata, “tidak! andai kami percaya bahwa engkau Rasulullah,  tentu kami tidak akan memerangimu”. Maka Rasulullah shalallahu‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu hilangkan tulisan “Rasulullah” wahai Ali. Ya Allah, sungguh Engkau Maha Mengetahui bahwa aku adalah Rasul-Mu. Hapus saja, wahai Ali. Dan tulislah, ini adalah perdamaian yang dinyatakan oleh Muhammad bin Abdillah”. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tentu lebih utama dari pada Ali. Namun beliau sendiri pernah menghapus gelar “Rasulullah”. Namun penghapus gelar tersebut ketika itu tidak menghapus kenabian beliau. Apakah alasan kalian sudah terjawab dengan ini?”. Mereka berkata: “ya”.

فرجع منهم ألفان وخرج سائرهم فقتلوا على ضلالتهم قتلهم المهاجرون والأنصار

Ibnu Abbas berkata, “maka bertaubatlah sekitar dua ribu orang di antara mereka, dan sisanya tetap memberontak. Mereka akhirnya terbunuh dalam kesesatan mereka. Kaum Muhajirin dan Anshar lah yang membunuh mereka”. [selesai].

Semoga banyak pelajaran yang diambil dari kisah ini, semoga Allah menetapkan kita di jalan-Nya yang lurus.

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: http://muslim.or.id/19436-ibnu-abbas-mendebat-kaum-khawarij-2.html

Selasa, 13 September 2016

Allah Beesemayam Diatas Arsy

Aqidah AhluSunnah Wal-Jama'ah: Allah Bersemayam di Atas 'Arsy

Allah yang menciptakan kita mewajibkan kita untuk mengetahui di mana Dia, sehingga kita dapat menghadap kepada-Nya dengan hati, do’a dan shalat kita. Orang yang tidak tahu di mana Tuhannya akan selalu sesat dan tidak akan mengetahui bagaimana cara beribadah yang benar.

Sifat atas atau tinggi yang dimiliki Allah atas makhluk-Nya tidak berbeda dengan sifat-sifat Allah yang lainnya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan hadits yang shahih, seperti “Mendengar”, “Melihat”, “Berbicara”, “Turun” dan lain-lain.

‘Aqidah para ‘ulama salaf yang shalih dan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah mempunyai keyakinan yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tanpa ta`wiil (menggeser makna yang asal ke makna yang lain), ta’thiil (meniadakan seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah), takyiif (menanyakan hakekat sifat-sifat Allah) dan tasybiih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya). Hal ini berdasarkan firman Allah:

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuuraa:11)

Sifat-sifat Allah ini antara lain sifat atas atau tinggi tadi mengikuti Dzat Allah. Oleh karena itu iman kepada sifat-sifat Allah tersebut juga wajib sebagaimana juga iman kepada Dzat Allah.

Al-Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa` dalam firman Allah: “Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaahaa:5)

Beliau menjawab: “Istiwa` itu sudah diketahui maknanya, yaitu “tinggi”. Sedangkan bagaimananya, tidak diketahui. Beriman dengannya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.”

Perhatikanlah jawaban Al-Imam Malik tersebut yang menetapkan bahwa iman kepada istiwa` itu wajib diketahui oleh setiap muslim. Tetapi bagaimana tingginya Allah itu hanya Allah saja yang mengetahui.

Orang yang mengingkari sifat Allah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur`an dan Hadits -antara lain sifat ketinggian Allah yang mutlak dan Allah di atas langit- maka orang itu berarti telah mengingkari ayat Al-Qur`an dan Hadits yang menetapkan adanya sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat tersebut meliputi sifat-sifat kesempurnaan, keluhuran dan keagungan yang tidak boleh diingkari oleh siapa pun.

Ada sekelompok ‘ulama yang datang belakangan yang sudah terpengaruh oleh filsafat yang merusak ‘aqidah Islam, berusaha untuk mena`wilkan ayat-ayat Al-Qur`an yang berhubungan dengan sifat Allah, sehingga mereka menghilangkan sifat-sifat Allah yang sempurna dari Dzat-Nya.

Mereka bertentangan dengan metode ‘ulama salaf yang lebih selamat, lebih tahu dan lebih kuat argumentasinya. Alangkah indahnya pendapat yang mengatakan:

segala kebaikan itu terdapat dalam mengikuti jejak ‘ulama salaf
dan segala keburukan itu terdapat dalam bid’ahnya orang-orang khalaf (yang menyelisihi salaf).

Kesimpulan Mengenai Sifat-sifat Allah

Beriman kepada seluruh sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur`an dan Hadits adalah wajib. Tidak boleh membeda-bedakan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, sehingga kita hanya mau beriman kepada sifat yang satu dan ingkar kepada sifat yang lain.

Orang yang percaya bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan percaya bahwa mendengar dan melihatnya Allah tidak sama dengan mendengar dan melihatnya makhluk, maka ia juga harus percaya bahwa Allah itu tinggi di atas langit dengan cara dan sifat yang sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat tingginya itu adalah sifat yang sempurna bagi Allah.

Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam Kitab-Nya dan sabda-sabda Rasulullah. Fithrah dan cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan tersebut.

Allah Berada di atas ‘Arsy

Al-Qur`an, hadits shahih dan fithrah yang bersih serta cara berfikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qath’i yang mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy.

Dalil-dalil tersebut adalah:

1. Firman Allah Ta’ala:

“Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaahaa:5) Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy terdapat dalam tujuh surat, yaitu: Al-A’raaf:54, Yuunus:3, Ar-Ra’d:2, Thaahaa:5, Al-Furqaan:59, As-Sajdah:4 dan Al-Hadiid:4.

Para tabi’in menafsirkan istiwa` dengan naik dan tinggi, sebagaimana diterangkan dalam hadits Al-Bukhariy, yang merupakan bantahan terhadap orang yang mena`wilkan istiwa` dengan istaula (menguasai). (Lihat Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah, Asy-Syaikh Al-Fauzan hal.73-75 cet. Maktabah Al-Ma’aarif)

2. “Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?” (Al-Mulk:16)

Menurut Ibnu ‘Abbas yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah seperti disebutkan dalam kitab Tafsir Ibnul Jauziy.

3. “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di atas mereka.” (An-Nahl:50)

4. Firman Allah tentang Nabi ‘Isa: “Tetapi (yang sebenarnya), Allah mengangkatnya kepada-Nya.” (An-Nisaa:158)

Maksudnya Allah menaikkan Nabi ‘Isa ke langit.

5. “Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi.” (Al-An’aam:3)

Ibnu Katsir mengomentari ayat ini sebagai berikut: “Para ahli tafsir sepakat bahwa kita tidak akan mengucapkan seperti ucapannya Jahmiyyah (golongan yang sesat) yang mengatakan bahwa Allah itu berada di setiap tempat. Maha Suci Allah dari ucapan mereka terebut.”

Adapun firman Allah: “Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Al-Hadiid:4), maka yang dimaksud adalah Allah itu selalu bersama kita, dalam artian mendengar dan melihat kita, seperti diterangkan dalam tafsir Ibnu Katsir dan Jalalain.

6. Rasulullah mi’raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun ‘alaih)

7. Rasulullah bersabda: “Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini dipercaya oleh Allah yang ada di langit?” (Muttafaqun ‘alaih)

8. Rasulullah bersabda: “Sayangilah orang-orang yang ada di bumi maka Yang di langit (yaitu Allah) akan menyayangi kalian.” (HR. At-Tirmidziy)

9. Abu Bakr Ash-Shiddiq berkata: “Barangsiapa menyembah Allah maka Allah berada di atas langit, Ia hidup dan tidak mati.” (Riwayat Ad-Darimiy dalam Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah)

10. ‘Abdullah Ibnul Mubarak pernah ditanya: “Bagaimana kita mengetahui Tuhan kita?” Maka beliau menjawab: “Tuhan kita di atas langit, di atas ‘Arsy, berbeda dengan makhluk-Nya.” Maksudnya Dzat Allah berada di atas ‘Arsy, berbeda dan berpisah dengan makhluk-Nya dan keadaannya di atas ‘Arsy tersebut tidak sama dengan makhluk.

11. Al-Imam Abu Hanifah menulis kitab kecil berjudul “Sesungguhnya Allah itu di atas ‘Arsy.” Beliau menerangkan hal itu seperti dalam kitabnya “Al-‘Ilm wal Muta’allim.”

12. Seseorang yang tengah shalat berucap di dalam sujudnya: “Subhaana Rabbiyal A’laa” (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi).

13. Seseorang ketika berdo’a juga mengangkat kedua tangannya dan menadahkannya ke langit.

14. Anak kecil ketika ditanya: “Di mana Allah?”, niscaya mereka akan segera menjawab berdasarkan fithrah mereka yang masih bersih bahwa Allah berada di atas langit.

15. Hewan buruan seperti kijang dan lainnya ketika hendak dibidik/dibunuh oleh sang pemburu, menengadahkan kepalanya ke langit meminta kepada Rabb-nya yang ada di atas langit agar menyelamatkannya.

Hal ini menunjukkan bahwa hewan tersebut tahu bahwa Rabb-nya di atas langit. Demikian juga hewan-hewan yang lainnya mengetahui bahwa Rabb mereka berada di atas langit. Kalau ada orang yang masih belum mengetahui di mana Rabb-nya maka dia lebih hina dan lebih rendah daripada hewan.

16. Akal yang sehat juga mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas langit. Seandainya Allah berada di setiap tempat, niscaya Rasulullah pernah menerangkan dan mengajarkan kepada para shahabatnya. Kalau Allah berada di segala tempat berarti Allah juga di tempat-tempat yang najis dan kotor. Maha Suci Allah dari anggapan itu.

Kisah Seorang Wanita Penggembala

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Allah di atas langit adalah kisah seorang budak wanita penggembala. Kisahnya adalah sebagai berikut:

Dari Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy berkata: “Dulu aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambing-kambingku di daerah Uhud dan Jawwaaniyyah.

Suatu hari aku menengoknya, tiba-tiba ada seekor serigala membawa pergi salah satu kambingnya. Sedangkan aku adalah seorang laki-laki dari Bani Adam. Aku bisa marah sebagaimana orang lain pun bisa marah. Maka aku pun memukulnya sekali.

Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam, maka beliau menganggap besar perbuatan yang telah kulakukan.

Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah aku merdekakan saja dia?” Beliau menjawab: “Bawa dia kepadaku!”

Maka setelah budak wanita tersebut dibawa ke hadapan beliau, beliau bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku?” Budak itu pun menjawab: “Engkau adalah Utusan Allah.”

Setelah mendengar jawaban tersebut, beliau Shallallahu'alaihiwasalam bersabda: “Merdekakan dia, karena dia adalah seorang wanita yang beriman.” (HR. Muslim no.537)

Dari hadits dan kisah tersebut, kita bisa mengambil beberapa faidah, di antaranya:

1. Adalah kebiasaan para shahabat ketika menghadapi suatu permasalahan meskipun kecil, selalu merujuk kepada Rasulullah agar mereka mengetahui bagaimana hukum Allah di dalam permasalahan tersebut.

2. Wajibnya berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa`:65)

3. Pengingkaran Rasulullah terhadap shahabat tersebut yang memukul budaknya dan beliau menganggapnya sebagai perkara besar.

4. Memerdekakan budak hanya boleh dilakukan terhadap budak yang beriman, bukan budak yang kafir. Karena Rasulullah menguji budak tadi dan ketika beliau mengetahui bahwa budak itu beriman, beliau memerintahkan untuk memerdekakannya. Jadi seandainya dia kafir, beliau tidak akan memerintahkan hal tersebut.

5. Kewajiban bertanya tentang tauhid, di antaranya tentang tingginya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Mengetahui hal ini adalah wajib.

6. Disyari’atkannya memberikan pertanyaan: “Di mana Allah?”. Hal ini adalah sunnah karena Rasulullah juga menanyakannya. Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang mengatakan: “Tidak boleh bertanya di mana Allah!”

7. Disyari’atkannya (bahkan wajib untuk) menjawab bahwa Allah ada di langit (yaitu di atas langit). Karena Nabi membenarkan jawaban budak tadi dan juga karena sesuainya jawaban tersebut dengan Al-Qur`an yang mengatakan: “Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian?” (Al-Mulk:16)

Yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas. Sedangkan makna fis samaa` (di langit) adalah ‘alas samaa` (di atas langit).

8. Benarnya keimanan dapat terwujud dengan adanya persaksian terhadap Muhammad Shallallahu'alaihiwasalam dengan risalah beliau.

9. Keyakinan bahwa Allah ada di atas langit adalah bukti yang menunjukkan benarnya keimanan dan keyakinan ini harus ada pada setiap orang yang beriman.

10. Hadits ini merupakan bantahan terhadap kesalahan orang yang mengatakan bahwa Allah ada di setiap tempat dengan Dzat-Nya, sedangkan yang benar adalah Allah bersama kita dengan ilmu-Nya, bukan dengan Dzat-Nya.

11. Permintaan Rasulullah agar budak itu dibawa ke hadapan beliau sehingga beliau dapat mengujinya menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui perkara ghaib, yaitu keimanan budak tersebut. Hal ini sebagai bantahan terhadap golongan shufi yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam mengetahui perkara ghaib. Wallaahu A’lam.

Diringkas dari kitab Taujiihaat Islaamiyyah li Ishlaahil Fard wal Mujtama’ dan Kaifa Nurabbii Aulaadanaa karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu dengan beberapa tambahan.

Pernyataan Para Imam tentang Istiwa`

Berkata Al-Imam Abu Hanifah: “Siapa yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku itu di mana, di langit ataukah di bumi.”, maka orang tersebut kafir. Demikian pula orang yang berkata: “Tuhanku itu di atas ‘Arsy, tetapi saya tidak tahu ‘Arsy itu di langit ataukah di bumi.” (Al-Fiqhul Absath hal.46; Lihat juga Majmuu’ul Fataawaa 5/48; Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz hal.301;)

Abu Nu’aim menuturkan dari Ja’far bin ‘Abdillah, dia berkata: “Kami berada di rumah Malik bin Anas, kemudian ada orang datang dan bertanya, “Wahai Abu ‘Abdillah, Allah Yang Maha Pengasih istiwa` (bersemayam) di atas ‘Arsy, bagaimana caranya Allah beristiwa`?”

Mendengar pertanyaan itu, Al-Imam Malik marah. Beliau tidak pernah marah seperti itu. Kemudian beliau melihat ke tanah sambil memegang kayu di tangannya, lalu beliau mengangkat kepalanya dan melempar kayu tersebut, kemudian berkata: “Istiwa` itu sudah diketahui maknanya sedangkan bagaimana caranya Allah beristiwa` tidaklah dapat dicerna oleh akal. Beriman dengannya adalah wajib sedangkan menanyakannya adalah bid’ah. Dan saya kira kamulah pelaku bid’ah tersebut.” Kemudian Al-Imam Malik menyuruh orang itu agar dikeluarkan dari rumah beliau.” (Al-Hilyah 6/325-326; ‘Aqiidatus Salaf Ash-Haabul Hadiits hal.17-18; At-Tamhiid 7/151; Fathul Baarii 13/406-407)

Wallaahu A’lam.

Dinukil dari kitab I’tiqaadul A`immah Al-Arba’ah, Dr. Muhammad Al-Khumais
"Mengenal Ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala"
Salafy.or.id

Minggu, 04 September 2016

Sikap Ahlussunnah Terhadap Kesalahan Ulama

SIKAP AHLUSSUNNAH TERHADAP KESALAHAN ULAMA

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Sepeninggal Rasulullah tidak ada seorangpun yang ma’sum (terbebas dari kesalahan). Begitu pula orang alim ; dia pun tidak akan lepas dari kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahannya itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya. Dan tidak boleh kesalahannya itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir [1] terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang sedikit itu dima’afkan dengan banyaknya kebenaran yang dia miliki. Apabila ada ulama yang telah meninggal ternyata salah pendapatnya, maka hendaknya kita tetap memanfaatkan ilmunya, tetapi jangan mengikuti pendapatnya yang salah, dan tetap mendo’akan serta mengharap kepada Allah agar mencurahkan rahmat kepadanya. Adapun bila orang yang pendapatnya salah itu masih hidup, apakah dia seorang ulama atau sekedar penuntut ilmu, maka kita ingatkan kesalahannya itu dengan lembut dengan harapan dia bisa mengetahui kesalahannya sehingga dia kembali kepada kebenaran.

Ulama yang telah wafat yang memiliki kesalahan dalam maslah akidah adalah Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Meskipun demikian, ulama dan para penuntut ilmu tetap memanfaatkan ilmunya. Bahkan, karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi orang-orang yang bergelut dalam bidang ilmu-ilmu agama.

Tentang Al-Baihaqi, Adz-Dzahabi memberi komentar dalam kitab As-Siyar (XVIII/163 dan seterusnya), Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang penghafal hadits, sangat tinggi ilmunya, teguh pendirian, ahli hukum dan tuan guru umat Islam”.

Adz-Dzahabi menambahkan, “Beliau adalah orang diberkahi ilmunya, dan mempunyai karya-karya yang bermanfaat”. Ditambahkan pula, “Beliau pergi ke luar dari negerinya dalam rangka mengumpulkan hadits dan membuat karya tulis. Beliau mengarang kitab As-Sunan Al-Kubra dalam sepuluh jilid. Tidak ada orang yang menandingi beliau”.

Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa Al-Baihaqi memiliki karya-karya tulisan lainnya yang sangat banyak. Kitabnya As-Sunan Al-Kubra telah dicetak dalam sepuluh jilid tebal. Dia menukil perkataan Al-Hafizh Abdul Ghafir bin Ismail tentang Al-Baihaqi. Katanya , “Karya-karya beliau hampir mencapai seribu juz (jilid). Suatu prestasi yang belum ada serorangpun yang menandingi. Beliau membuat metode penggabungan ilmu hadits dan fikih, penjelasan tentang sebab-sebab cacatnya sebuah hadits, serta cara menggabungkan antara hadits yang terlihat saling bertentangan”.

Imam Adz-Dzahabi juga berkata, “Karya-karya Al-Baihaqi sangat besar nilainya, sangat luas fedahnya. Amat sedikit orang yang mampu mempunyai karya tulis seperti beliau. Sudah selayaknya para ulama memperhatikan karya-karya beliau, terutama kitabnya yang berjudul As-Sunan Al-Kubra”.

Adapun tentang An-Nawawi, Adz-Dzahabi mengomentarinya dalam kitab Tadzkirah Al-Huffaz (IV/259). Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang imam, penghafal hadits yang ulung, teladan bagi ummat, tuan guru umat Islam, dan penghulu para wali. Beliau memiliki karya-karya yang bermanfaat”.

Ditambahkan pula, “Beliau juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam memegang teguh agamanya, sangat menjaga sifat wara’ dan sangat berhati-hati sampai pada perkara yang remeh sekalipun, selalu membersihkan jiwa dari noda dan kotoran. Beliau adalah seorang penghapal hadits dan ahli dalam segala cabang-cabang ilmu hadits ; ilmu tentang periwayatan hadits, ilmu untuk mengetahui hadits yang shahih dan yang dha’if ; begitu juga ilmu tentang cacat-cacat hadits. Beliau juga seorang tokoh terkemuka yang mengetahui madzhab (Syafi’i)”.

Ibnu Katsir mengatakan dalam Al-Bidayah Wa An-Nihayah (XVII/540), “Kemudian beliau memfokuskan perhatian kepada tulis menulis. Banyak karya tulis yang telah dibuat beliau. Karya-karya beliau ada yang sudah selesai dan utuh, namun ada pula yan belum. Karya-karya beliau yang sudah selesai dan utuh diantaranya : Syarah Muslim, Ar-Raudah, Al-Minhaj, Riyadush Shalihin, Al-Adzkar, At-Tibyan, Tahrir At-Tanbih wa Tashhihih, Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, Thabaqat Al-Fuqaha dan yang lain-lain. Adapun kitab-kitab beliau yang belum selesai penulisannya di antaranya adalah kitab Syarah Al-Muhadzdzab yang dinamakan Al-Majmu’. Kitab ini seandainya bisa beliau selesaikan niscaya menjadi kitab yang tiada bandingnya. Pembasahan kitab ini baru sampai pada bab riba. Beliau menulis kitab tersebut dengan sangat baik. Dibahasnya di kitab tersebut masalah fikih yang ada dalam madzhabnya maupun yang di luar madzhabnya. Beliau juga membahas hadits-hadits sebagaimana mestinya ; diterangkan di situ kata-kata yang sulit (asing), tinjauan-tinjauan bahasa, serta berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan dalam kitab lainnya. Belum pernah saya menemukan pembahasan kitab fiqih sebagus kitab tersebut, sekalipun kitab tersebut masih perlu banyak penambahan dan penyempurnaan”.

Walaupun karya-karya beliau sangat banyak, namun umur beliau cukup muda. Beliau hidup hanya sampai umur empat puluh lima tahun. Beliau lahir pada tahun 631H dan wafat pada tahun 676H.

Adapun Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau adalah seorang imam yang masyhur dengan karya-karyanya yang banyak. Karya beliau yang terpenting adalah kitab Fathul Bari yang merupakan kitab syarah (penjelasan) dari kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab tersebut menjadi kitab rujukan yang penting bagi para ulama. Kitab-kitab beliau yang lain adalah Al-Ishabah, Tahdzib At Tahdzib, Taqrib At Tahdzib, Lisan Al Mizan, Ta’jil Al Manfa’ah, Bulughul Maram, dan lain-lain.

Di antara ulama dewasa ini (yang tergelincir dalam kesalahan) adalah Syaikh Al’Alamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani ; Beliau adalah seorang pakar hadits. Tak ada seorang pun yang menandingi beliau dalam hal perhatiannya terhadap ilmu hadits. Beliau terjatuh dalam kesalahan dalam beberapa perkara menurut kebanyakan ulama. Di antara kesalahan beliau adalah pendapatnya dalam masalah hijab. Beliau berpendapat bahwa menutup wajah bagi wanita bukanlah sauatu kewajiban, tetapi sunnah saja. Dalam perkara ini, kalau pun yang beliau katakan benar, akan tetapi kebenaran tersebut dikatagorikan sebagai kebenaran yang selayaknya disembunyikan [2], karena akibatnya akan banyaka wanita yang meremehkan masalah menutup wajah. Begitu pula perkataan beliau dalam kitab Shifat Shalat Nabi, “Sesungguhnya meletakkan kedua tangan di atas dada pada saat I’tidal (berdiri setelah bangkit dari ruku’) adalah termasuk bid’ah yang sesat”, padahal masalah tersebut termasuk permasalahan yang diperselisihkan. Begitu pula perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab Silsilah Adh-Dhaifah hadits no. 2355 bahwa tidak memotong jenggot yang melebihi satu genggaman adalah termasuk bid’ah idhafiyah. Begitu pula pendapat beliau yang mengharamkan emas melingkar bagi seorang wanita [3].

Akan tetapi, meskipun saya mengingkari beberapa pendapat beliau di atas, saya begitu juga yang lainnya, tetap mengambil buku-buku beliau sebagai rujukan. Alangkah bagusnya perkataan Imam Malik, “Semua orang bisa diambil atau ditolak ucapannya kecuali pemilik kubur ini” Beliau mengisyaratkan ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Penjelasan di atas memberikan gambaran bagaimana para ulama memberikan maaf (toleransi) kepada ulama lain yang terjatuh dalam kesalahan. Pemberian ma’af tersebut mereka berikan karena banyak kebenaran yang dimiliki ulama tersebut.

Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, “Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu”

Para salaf yang lain berkata, “Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia adalah seorang ‘alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)” [4]

Abdullah bin Al Mubaraak (wafat 181H) berkata,”Apabila kebaikan seorang lebih menonjol daripada kejelekannya maka kejelekannya tidak perlu disebutkan. Sebaliknya, apabila kejelekan seseorang lebih menonjol daripada kebaikannya maka kebaikannya tidak perlu disebutkan” [5]

Imam Ahmad (wafat 241H) berkata, “Tidak ada seorangpun yang melewati jembatan (keluar) dari Khirasan seperti Ishak bin Ruhawaih [6], meskipun beliau berselisih dengan kami dalam banyak hal. Manusia memang akan senantiasa saling berbeda pendapat” [7]

Abu Hatim ibnu Hibban (wafat 354H) berkata, “Abdul Malik –yaitu anak dari Abu Sulaiman- adalah termasuk penduduk Kuffah yang terbaik dan termasuk seorang penghafal hadits. Akan tetapi, orang-orang yang menghafal dan meriwayatkan hadits darinya biasanya akan salah. Termasuk tindakan yang tidak adil meninggalkan seluruh hadits dari seorang syaikh yang kokoh hafalannya dan telah jelas kejujurannya, hanya dikarenakan beberapa kesalahannya dalam meriwayatkan hadits. Kalau kita menempuh cara seperti ini, maka konsekwensinya adalah kita akan meninggalkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri, Ibnu Juraij, Ats Tsauri, dan Syu’bah. Hal ini karena meskipun mereka adalah para penghafal hadits yang kokoh hafalannya, yang meriwayatkan hadits dari hafalan mereka, akan tetapi mereka bukanlah orang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) sehingga maungkin saja mereka terjatuh dalam kesalahan. Jadi, tindakan yang tepat adalah bahwa seorang yang kuat hafalannya (selagi periwayatannya benar) kita terima riwayatnya dan kalau periwayatannya salah kita tinggalkan. Ini apabila secara keseluruhan kesalahan mereka tidak mendominasi. Apabila kesalahan mereka lebih mendominasi, maka dalam keadaan seperti itu periwayatan mereka kita tinggalkan” [8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728H) berkata, “perlu diketahui bahwa kelompok-kelompok yang menisbatkan kepada figur-figur tertentu dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan juga kelompok ahli kalam, mereka terdiri dari beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyelisihi sunnah pada masalah yang sangat prinsipil dan ada juga yang menyelisihi sunnah pada persoalan samar (sulit diketahui benar tidaknya).

Bila ada dari mereka yang membantah kebatilan kelompok lainnya yang lebih menyimpang dari sunnah, maka kita puji bantahan mereka dan kebenaran yang mereka ucapkan. Akan tetapi, sayang, terkadang mereka melampui batas dalam menyampaikan bantahan tersebut. Terkadang dalam bantahan tersebut mereka menyalahi kebenaran dan mengatakan hal-hal yang batil. Terkadang mereka membantah bid’ah yang besar dengan bid’ah yang lebih ringan ; membantah kebatilan dengan kebatilan yang lebih ringan. Ini sering kita jumpai di kalangan ahli kalam yang menisbatkan diri mereka kepada Ahlussunnah wal Jama’ah.

Orang-orang seperti mereka itu, meskipun perbuatan bid’ahnya tidak membuat mereka keluar dari jama’ah kaum muslimin, tetapi karena bid’ah tersebut mereka jadikan dasar saling loyal dan saling memusuhi, maka tetap saja perkara tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan. Akan tetapi, Allah mengampuni orang-orang mu’min yang melakukan kesalahan seperti ini.

Banyak para Salaf dan para imam yang terjatuh pada kesalahan yang semacam itu. Mereka lontarkan perkataan-perkataan berdasarkan ijtihad mereka yang ternyata bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, tindakan para Salaf tadi berbeda dengan orang-orang yang mau loyal terhadap orang-orang yang menyetujui pendapatnya, sementara memusuhi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya, serta memecah belah jama’ah kaum muslimin, mengkafirkan dan memberi cap fasiq ; bahkan menghalalkan jiwa orang-orang yang menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang didasarkan pada pendapat dan ijtihad.Mereka ini adalah kelompok yang suka memecah belah dan senang bertengkar” [9]

Beliau berkata pada halaman lain (XIX/191-192) , “Banyak para ulama ahli ijtihad yang Salaf maupun khalaf, mereka mengatakan sebuah perkataan atau melakukan perbuatan yang termasuk kebid’ahan sementara mereka tidak mengetahui bahwa perkara tersebut adalah bid’ah. Hal itu dikarenakan beberapa sebab, di antaranya karena mereka menetapkan shahih sebuah hadits padahal dha’if, atau dikarenakan pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ada kalanya hal itu juga dikarenakan mereka ijtihad dalam sebuah masalah, padahal dalil-dalil yang menjelaskannya, namun dall-dalil tersebut belum sampai kepada mereka. Apabila tindakan mereka itu masih dalam rangka melakukan ketakwaan kepada Allah semampu mereka, maka mereka termasuk dalam firman Allah Ta’ala.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kamu tersalah” [Al-Baqarah : 286]

Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah menjawab, “Sungguh, telah Aku lakukan”.

Adz-Dzahabi (wafat 748H) mengatakan, “Sesungguhnya seorang ulama besar, apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinya adalah pencari kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal kepribadiannya yang shalih, wara’ dan berusaha mengikuti sunnah maka kesalahannya dimaafkan. Kita tidak boleh mencap sesat, tidak boleh meninggalkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kita do’akan semoga dia bertaubat dari perkara itu. [10]

Beliau menambahkan, “Kalau setiap kali seorang ulama (kaum muslimin) salah berijtihad dalam suatu permasalahan yang bisa dimaafkan kita bid’ahkan dan kita jauhi, maka tidak ada seorang pun yang selamat, apakah itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau orang yang lebih hebat dari keduanya sekalipun. Allah yang memberi petunjuk kebenaran kepada makhlukNya, dan Dia adalah dzat Yang Maha Penyayang. Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan perangai yang kasar” [11]

Beliau juga berkata, “Kalau setiap orang-orang yang salah berijtihad kita tahdzir dan kita bid’ahkan, padahal kita mengetahui bahwa dia memiliki iman yang benar dan berusaha keras mengikuti kebenaran, maka amat sedikit ulama yang selamat dari tindakan kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia dan kemuliaanNya” [12]

Beliau menambahkan, “Kami mencintai sunnah dan para pengikutnya. Kami mencintai ulama dikarenakan sikap mereka yang berusaha mengikuti sunnah dan juga sifat-sifat terpuji yang mereka miliki. Sebaliknya, kami membenci perkara-perkara bid’ah yang dilakukan ulama yang biasanya dihasilkan dari penakwilan-penakwilan. Sesungguhnya yang menjadi parameter adalah banyaknya kebaikan yang dimiliki” [13]

Ibnul Qayyim (wafat 751H) berkata, “Mengenal keutamaan, kedudukan, hak-hak dan derajat para ulama Islam, dan mengetahui bahwa keutamaan mereka, ilmu mereka miliki, dan keikhlasan yang mereka lakukan semata-mata karena Allah dan Rasulullah, tidak mengharuskan kita menerima seluruh perkataan mereka. Begitu juga, apabila ada fatwa-fatwa mereka tentang permasalahan yang belum mereka ketahui dalil-dalinya, kemudian mereka berijtihad sesuai dengan ilmu yang mereka miliki, dan ternyata salah, maka hal itu tidak mengharuskan kita membuang seluruh perkataan mereka atau mengurangi rasa hormat kita, atau bahkan mencela mereka. Dua sikap diatas menyimpang dari sikap yang adil. Sikap yang adil adalah tengah-tengah di antara kedua sikap tersebut. Kita tidak boleh menganggap seseorang selalu dalam kesalahan dan juga tidak boleh menganggapnya sebagai orang yang maksum (terbebas dari kesalahan)”

Dia menambahkan, “Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang syari’at dan kondisi riil masyarakat, maka dia akan mengetahui secara pasti bahwa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang baik untuk Islam, bahkan mungkin seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam, bisa saja melakukan kekeliruan dan kesalahan yang bisa ditolerir, yang malah mendapatkan pahala karena telah berijtihad. Akan tetapi, kesalahan yang dilakukannya tidak boleh kita ikuti, dan dia tidak boleh dijatuhkan kehormatan dan kedudukannya dari hati kaum muslimin” [14]

Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795H) berkata, “Allah Ta’ala enggan memberikan kemaksuman untuk kitab selain kitabNya. Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena banyak kebenaran yang ada padanya” [15]

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]
_______
Footnote
[1]. Peringatan kepada khalayak agar menjauhi seseorang. Biasanya dengan membeberkan aib dan kesalahan orang tersebut.
[2]. Sebagai bandingan, dalam kitabnya yang berjudul Jilbab Mar'ah Muslimah, Penerbit Dar As-Salam tahun 2002 pada halaman 27, Syaikh Al-Albani membantah orang-orang yang berpendapat seperti itu. Beliau mengatakan bahwa hukum syar'i yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah tidak boleh disembunyikan dengan alasan nanti akan terjadi kerusakan zaman atau alasan lainnya. Beliau tunjukkan di sana dalail-dalil yang mendasarinya.
[3]. Sebagai bandingan, dalam kitab Adab Zifaf, penerbit Dar As-Salam cetakan Pertama hal, 222 dst, Syaikh Al-Albani mengharamkan wanita memakai perhiasan emas melingkar dan membantah orang-orang yang menghalalkannya, -ed
[4]. Lihat Jami’ Bayan Fadhli Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr (II/48).
[5]. Lihat kitab Siyar ‘Alam An Nubala karya Adz-Dzahabi VIII/352 cetakan pertama
[6]. Maksudnya, tidak ada orang yang sebanding dengannya, Pent
[7]. Lihat kitab Siyar A’lam An-Nubala’ XI/371
[8]. Lihat kitab Ats Tsiqat VII/97-98
[9]. Lihat kitab Majmu ‘Al-Fatawa III/348-349
[10]. Lihat Siyar A’lam An-Nubala V/271
[11]. Lihat Siyar A’lam An-Nubala XIV/39-40
[12]. Lihat Siyar A’lam An-Nubala XIV/376
[13]. Lihat Siyar A’lam An-Nubala XX/46
[14]. Lihat kitab I’lam Al-Muwaqqi’in III/295
[15]. Lihat kitab Al-Qawa’id hal.3

Almanhaj.or.id

Jumat, 02 September 2016

Nasihat

*Nasehat-nasehat Ust. Yazid  Jawaz hafidzahullah*

• Jangan berharap kepada manusia, karena engkau kan kecewa.

✅• Berharaplah kepada Allah, niscaya engkau tidak akan pernah kecewa.

• Manusia yang mulia adalah yang dia bangun disepertiga malam terakhir, kemudian meminta kepada Allah.

• Jangan lewatkan waktumu untuk berbuat maksiat, karena tak tahu kapan ajalmu kan menjemput. Sehingga kematianmu menjadi su'ul khothimah

• Hidupmu di dunia ibarat satu hari atau setengah hari dibandingkan kehidupanmu di akherat kelak, persiapkanlah bekalmu, dan sebaik2 bekal adalah taqwa.

• Infakkanlah hartamu. Karena simpanan harta yang sesungguhnya adalah yang akan engkau bawa sampai mati, bukan yang engkau simpan untuk duniamu.

• Jangan engkau tunda pekerjaan pagimu untuk sore harimu, niscaya banyak pekerjaan yang akan engkau selesaikan.

⏰• Aturlah waktumu sebaik mungkin, kapan mengurus pekerjaan rumah tanggamu, kapan engkau membaca al qur'an, kapan engkau membaca buku yang bermanfaat dan pekerjaan lainnya.

• Orang yang tertipu adalah orang yang tidak dapat memanfaatkan waktu luangnya padahal dia dalam keadaan sehat.

• Sesungguhnya setelah waktu luang akan ada waktu sibuk, setelah sehat akan ada masa sakit...manfaatkanlah masa sehatmu dan waktu luangmu sebaik mungkin.

• Sesungguhnya masa sakitmu dibandingkan masa sehatmu lebih banyak masa sehatmu. Coba ingatlah berapa lama kamu sakit? Seminggu? Sebulan? Setahun? Bandingkan dengan masa sehatmu! Bersyukurlah

• Janganlah engkau merasa aman dari perbuatan maksiat yang engkau lakukan secara diam-diam. Jika istri, suami atau orang lain tak ada yang mengetahui, akan tetapi Allah mengetahui perbuatanmu. Dan kelak perbuatanmu akan dipertanggungjawabkan.

• Apabila perbuatan maksiat sudah engkau lakukan, menyesal lah! Bertaubatlah! Bertaubat dengan sebaik2 taubat. Janganlah engkau ulangi. Tegakkanlah sholat niscaya akan menghapusnya. Berbuat baiklah kepada orangtuamu niscaya akan menghapus dosa-dosamu.

Berdo'alah. Sesungguhnya do'a yang paling banyak diiucapkan nabi shalalallahu 'alaihi wa sallam adalah - Ya muqollibal quluub, tsabbit qolbii 'alaa diinik - Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agamaMu.

• Jangan engkau tinggalkan setelah sholat shubuh sebuah do'a - Allohumma innii as aluka 'ilmaana fi'a wa rizqon thoyyiba wa 'amalan mutaqobbalaa - Ya Allah aku meminta kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima.

✏• Bacalah dzikir pagi dan petang, dia hanya meminta waktumu 10 menit. Kau bisa melakukan disela2 aktivitasmu.

📖.Bacalah buku yang bermanfaat. Karena ia dapat menghantarkanmu kepada kebaikan.

• Bacalah buku 4 jam dalam sehari.

• Manusia yang paling utama adalah yang baik akhlaknya. Dan manusia yang paling cerdas adalah yang selalu mengingat mati dan mempersiapkan bekal menghadapi kehidupan setelah kematian.

• Janganlah engkau panjang angan-angan untuk kehidupan duniamu. • Ketika usahamu telah mencukupi kebutuhan hidupmu, tak usah engkau tambahkan beban hidupmu dengan berhutang untuk memperluas usahamu. Karena bisa jadi engkau akan mati meninggalkan hutang dan sesungguhnya Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam tak bersedia menyolati jenazah orang yang mati meninggalkan hutang.

• Boleh engkau melakukan hal-hal mubah seperti menjaga kesehatan badanmu, akan tetapi janganlah hal tsb membuatmu lupa menjaga kesehatan hatimu.

• Berikan rasa cintamu untuk orang-orang shalih, bukan untuk orang-orang kafir.

• Terakhir, maafkanlah orang yang telah menyakiti hatimu - dan ini adalah nasehat yang menghujam hatiku -
Allahu a'lam

Sabtu, 20 Agustus 2016

Sahabat Setia Sampai Surga

ZAINAL ABIDIN
SAHABAT SETIA HINGGA SURGA…
AUGUST 20, 2016 ADMIN
Di tengah keterasingan, aku mencoba memaknai persahabatan dan di kala kesulitan menghimpit aku berusaha merenungkan tafsir Kesetiaan…

Di tengah gangguan bersosialisasi aku berjuang mengurai benang kusut kejujuran dalam pergaulan…

Memang benar kata para ulama sahabat ada empat,

Pertama, teman laksana makanan yang dibutuhkan untuk kehidupan.

Kedua, teman laksana obat yang dibutuhkan saat kesakitan.

Ketiga, teman laksana racun amat bahaya bila ditelan.

Keempat, teman laksana virus senantiasa menularkan penyakit saat berdampingan.

Para ulama salaf berkata, waspadalah bersahabat dengan banyak orang, karena mereka pada umumnya, tidak mudah mentolelir kekurangan, kurang bisa memaafkan kesalahan, mudah mengumbar aib, mudah marah dalam urusan sepele, dan gampang hasud dengan kenikmatan besar maupun kecil. Jangan kamu jadikan seseorang sebagai sahabat sebelum Anda mengujinya dengan lamanya pergaulan, amanah dalam masalah uang, membantumu dalam kesulitan, dan setia dalam bepergian.

Ribuan orang pernah bertegur sapa dan berpapasan denganku, ada yang masih aku ingat namun banyak yang terlupa moga semuanya bisa jumpa di Surga.

Banyak sekali kebaikan yang aku petik dan hikmat yang aku dapatkan dari harga sebuah persahabatan…

Atha berkata, carilah temanmu saat menghilang, barangkali dia sedang sakit perlu ditengok, atau sedang menghadapi kesulitan perlu bantuan atau sedang lupa persahabatan perlu diingatkan.

Kebaikan dan perhatian mereka terlalu banyak dihitung apalagi ditabung, ada yang terekam indah dalam kenangan dan ada yang terlupakan bahkan terabaikan semoga Allah memaafkan.

Betapa besarnya pahala bersahabatan yang ditegakkan diatas keimanan dan keadilan hingga Allah menjamin naungan teduh di hari pengadilan…..

Bahkan Allah berfirman dalam hadits qudsi, manakah orang-orang yang berkasih sayang karenaku, demi izzahku Aku akan naungi dengan naungan Arasyku…

Dan manusia dihimpun pada hari Kiamat bersama orang yang dicintainya, di mana pernah seorang Badui datang kepada Rasulullah dan bertanya, Kapankah Kiamat terjadi? Beliau menjawab, Apakah yang Anda persiapkan untuknya? Maka sang Badui pun menjawab, Cinta Allah dan cinta RasulNya. Maka beliau menjawab, Engkau akan dihimpun bersama orang yang kamu cintai.

Anas bin Malik menangis setelah mendengar jawaban nabi karena kegembiraan sehingga berkata, Aku mencintai Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman meski amalanku tidak bisa menyamai amalan mereka, aku hanya berharap bisa dikumpulkan bersama mereka di hari Kiamat.

Hak bersahabatan cukup banyak yang antara lain,

1. Jagalah nama baik dan kehormatan sahabatmu.

2. Nasehati secara tulus di kesepian akan kesalahan dan kesesatannya.

3. Bantulah hajat hidupnya baik berupa materi, tenaga, pikiran dan ilmu yang Anda miliki.

4. Doakan ketika bersin dan mengucapkan hamdalah, jawablah salamnya, tengoklah saat sakit, antarkan jenazahnya saat meninggalnya dan berilah nasihat dengan tulus saat minta nasihat serta kabulkan undangannya.

5. Jagalah kehormatan keluarganya dan panggillah dengan nama indahnya.

6. Doakan dengan kebaikan dan Hidayah saat Anda sedang berjauhan.

Said bin Ash berkata, temanku punya hak tiga atasku, kalau dia mendatangiku aku sambut dengan hangat, bila dia berbicara aku dengar dengan menghadapkan muka dan bila dia duduk aku luaskan majelisnya.

Sementara sahabat setia adalah orang yang bila kamu pandang mengingatkan Allah, ucapannya mendorong kepada kebaikan dan tingkah lakunya memotivasi kepada keakhiratan.

Zainal Abidin bin Syamsuddin,  حفظه الله تعالى

Senin, 15 Agustus 2016

Hilmah perpisahan

HIKMAH PERPISAHAN ‘KETIKA Mendapat MUSIBAH '

Mengingat kembali masa paling sulit umat ini akan melatih kita lebih bersyukur dan lebih tegar dalam mengadapi hal-hal sulit yang baru saja kita hadapi. Lalu angkasakan benakmu, apakah musibah paling sulit itu?

Pertama-tama tengoklah ke sekeliling, banyak kerusakan dalam tubuh umat yang pernah berjaya ini.. kemaksiatan mencekik lehernya, penyimpangan syari’at menyandung kakinya.. lantas tubuh umat ini jatuh ke jurang-jurang kehinaan dan kekalahan. Kemenangan manis yang pernah diingat sebagai kemenangan paling menakjubkan dalam sejarah, kini tidak hanya hilang dalam lembar-lembar sejarah itu sendiri, tapi benar-benar hilang dari benak-benak umatnya. Sejak kapan itu pergi? Sejak kapan kemenangan ini menjauhi umat ini? Yaitu sejak iman dan kepercayaan di hati umat ini semakin berdegradasi.. Sejak kita menjauh sedepa demi sedepa dari pemurnian penyembahan kita pada Allah Ta’ala. Sampai-sampai sekarang kita tengah berada di lembah kesyirikan namun bak semut hitam di atas batu hitam di dalam kegelapan, kita tidak mampu melihat dan menyadari dimana keyakinan, akidah, dan amalan kita sekarang berdiri.

Inilah garis yang Allah Ta’ala buat untuk kaum akhir zaman. Diantara hikmahnya agar mereka mencari kemana kemenangan itu pergi dan sejak kapan menghilang. Tidakkah kaum yang berakal sehat itu berfikir? Sejak wahyu diputus dari langit. Sejak Nabi terakhir kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam diwafatkan dalam pilihannya untuk bertemu dengan Allah Ta’ala. Setitik noda mulai melukai tubuh umat ini dan luka itu membesar bak borok yang terus berproliferasi. Tidakkah datang di benak kaum yang berakal? Ini justru mengokohkan keyakinan bahwa apa yang Nabi terakhir itu bawa adalah benar adanya sebagai kebenaran yang nyata. Yang semakin kita menjauhinya, niscaya semakin jatuh kita dalam kehancuran sebagaimana sekarang ini.

Adapun hikmah lain yang akan kita dalami dari sana, saat ini.. adakah kita pantas meratap dan mengeluh atas musibah duniawi semacam kehilangan harta dan anak, sedangkan ada musibah besar yang 1400 tahun lalu mengancam umat ini dengan kehinaan dan kehancuran? Bersedihlah di tempat yang pantas.. lalu carilah pelajaran dari musibah itu.

Sungguh ratapan dan keluhan pada hal yang tidak benar-benar me-mudharat–kanmu (merugikan-red) hanyalah kesia-siaan di dunia dan hisab-adzabnya berat di akhirat. Berpikirlah dua kali dan berkali-kali lagi untuk bersedih karena kehilangan harta, kesulitan duniawi, kehilangan anak, penyakit yang kian tidak sembuh dan nasib yang kian tidak membaik. Pun lebih dari itu menangislah atas putusnya wahyu dari langit, kerusakan yang bertolak dari sana dan usaha kita yang kian tak membaik dalam memperbaikinya.

Jika hati keras yang banyak tertawanya, banyak makannya, banyak bicara tak bermanfaatnya ini tidak bisa merasakan kesedihan yang pantas. Maka mari kita melakukan flash back ke masa lalu, bagaimana para shahabat yang membersamai nabi semasa hidupnya harus menerima ujian berat kematian al-musthafa itu. Hari dimana hari-hari setelah itu akan jauh lebih sulit dari biasa bahkan hanya untuk sekedar mempertahankan aqidah yang susah payah kita tanamkan pada hati tandus yang gemar bermaksiat ini. Bagaimana mereka memaknai kesedihan terberat itu dan bagaimana rasa dari kesedihan itu.

Kaum akhir zaman ini mungkin tidak bertemu langsung dengan utusan Allah terakhir itu, belum pernah mencicipi pertemuan bahkan perpisahan dengannya, langsung di dunia. Namun bagi yang syahadatnya diucap dengan penuh kesadaran akan konsekuensinya.. tentu mengimani utusan Allah Ta’ala tercinta itu melazimkan kesedihan atas kepergiannya.

Bagimu yang kehilangan kesedihan itu.. adakah berkenan kalian mengulang lagi sepotong kisah perpisahan yang berat dan warisan hikmah cobaan besar yang lebih pantas kau tangisi ini…? barangkali di dalam pengulangan kisah yang sudah pernah kau dengar ini, kau temukan hatimu dan kau kurangi kesedihanmu atas musibah lain yang tak sebanding dengan peristiwa ini..

“Pada awal bulan ke-3 Hijriah… bulan itu adalah bulan dimana umat Islam pantas bersyukur. Betapa Allah Yang Maha Pengasih telah memberikan umat ini hadiah besar berupa kelahiran utusan yang akan membawa wahyu dariNya sehingga kebenaran dari-Nya akan tegak kembali.. janji Allah di kitab-kitab terdahulu terpenuhi..

Begitu pun janji Allah pada kitab-Nya yang mulia, Al-Qur’an..

“1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, 2. dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, 3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”(An-Nashr :1-3)

Kemenangan telah nampak, panji-panji perang boleh beristirahat. Berbondong-bondong penduduk kota dimana nabi tercinta kita diutus telah ‘berserah diri’ dalam agungnya kebenaran yang dibawa Al-Amin, pemuda paruh baya yang 63 tahun lalu lahir di tengah-tengah mereka sebagai anak yatim yang ditinggal mati ayahnya. Dia telah menemui kemenangan itu.. di hari itu. Genaplah yang genap, sempurnalah apa yang dituju, sampailah jangkar pada dasar lautan.

Berita kemenangan itu telah jelas.. apa yang perlu diselesaikan setelahnya juga telah jelas.. Maka jiwa terjaga itu hanya tinggal menunggu keputusan Allah Ta’ala dan memilih apa yang bisa dipilih.

Dari kepalanya yang telah dia gunakan untuk menantang rantai-rantai logam di perang uhud, terasa olehnya sakit dan pening yang menguar tiba-tiba. Racun dari Khaibar yang mengendap dan menanti dititah untuk beraksi kini memulai onsetnya. Sebelum itu, tepatnya beberapa hari sebelum mulainya rasa sakit itu.. Nabi telah berkhutbah di atas mimbar demi menyampaikan belasungkawa terkait dirinya dan tentang pilihannya yang telah jatuh, atas tawaran Rabb-Nya yang Maha suci itu..

“Sesungguhnya Allah memberikan pilihan kepada seorang hamba, antara (kehidupan) dunia dan apa yang ada di sisi-Nya. Namun sang hamba lebih memilih apa yang ada di sisi-Nya”

Maka dari keheningan di tengah pendengar khutbah Nabi, pecahlah tangis Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, sehingga orang terheran-heran dengan tangisannya. Ia bisa jadi satu-satunya yang memahami di antara banyak shahabat di hadapan mimbar itu, bahwa sang hamba yang diberi pillihan itu tidak lain adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Dan ada makna tersembunyi dalam umumnya kalimat itu.

Nabi menatap lembut kawan sejatinya itu, tak salah dia berikan banyak harapan dan cinta pada sosok penuh kasih sayang yang tengah terisak itu. Tak heran betapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai-Nya.. tak heran mengapa cinta itu terbalas dengan bukti betapa mudahnya perasaan dan pemahaman Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu untuk bersatu dengan maksud Nabi kala itu.

Nabi mengambil nafasnya untuk memulai kata-katanya kembali;

“Sesungguhnya orang yang paling aku percayai dalam mendampingi dan (berkorban dengan) hartanya adalah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu”

Mungkin isakan tangis Abu bakar Radhiyallahu ‘anhu akan semakin keras demi mendengarnya lagi.

“Seandainya aku boleh mengambil Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu sebagai khalil (kekasih), niscaya aku telah mengambil Abu Bakar sebagai khalil, akan tetapi yang dibolehkan hanyalah persaudaraan Islam dan kecintaan dalam Islam. Tidak satu pun pintu di masjid melainkan telah ditutup, kecuali pintu Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu”

***
Permohonan Nabi Di tengah Malam

Pada tengah malam sebelum datang musibah berat umat ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangukan mantan hamba sahayanya, Abu Muwaihibah lalu berkata,

“Wahai Abu Muwaihibah! Seseungguhnya aku diperintahkan untuk memohonkan ampunan bagi penghuni (pemakaman) Baqi’ ini. Karena itu, ikutlah bersamaku.”

Tatkala berdiri di tengah mereka, beliau bersabda:

“Semoga kesejahteraan tercurah atas kalian, wahai para penghuni kubur. Selamat atas kalian di pagi hari, dimana orang-orang memasuki pagi hari mereka. Berbagai fitnah telah datang bagaikan potongan malam yang gelap gulita, dimana penghujungnya mengikuti permulaannya. Yang terjadi di penghujungnya lebih buruk dari permulaannya”.

Kemudian beliau menghadap ke arah Abu Muwaihibah seraya berkata:

“Wahai Abu Muwaihibah! Sesungguhnya aku telah diberikan kunci-kunci perbenderaharaan dunia dan keabadian di dalamnya, juga surga..

Lalu aku diberi pilihan antara hal itu dengan menjumpai Rabb-ku dan Surga.”

Abu Muwaihibah berkata, “ Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu, ambillah pintu-pintu dunia, keabadaian di dalamnya, dan Surga”. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Allah, Tidak, wahai Abu Muwaihibah! Aku telah memilih pertemuan dengna Rabb-ku dan Surga.”

Kemudian beliau memohonkan ampunan untuk penghuni al-Baqi’ lalu pulang. Selepas itu, mulailah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami sakit yang berhujung pada wafatnya beliau. Sepulang dari Al-Baqi’ beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi istri-istrinya sekaligus meminta ijin pada mereka, agar dirawat di rumah Ibunda Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa. Maka mereka pun setuju.

Di Rumah Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa

Kemudian beliau mengalami demam dan sakitnya bertambah parah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat meminta dituangkan 7 kantung air agar bisa cukup segar demi menemui orang-orang dan mengimami shalat dan berkhutbah di hadapan mereka. Akan tetapi setelah itu sakitnya justru semakin parah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Aisyah agar Abu Bakar menggantikannya menjadi imam shalat. Meski sempat ditolak oleh Aisyah dengan kuat karena Abu Bakar nanti hanya akan menangis di tengah shalat. Namun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bersikeras mengiginkan Abu Bakar menjadi imam shalat jamaah kaum muslimin menggantikannya.

Pada hari Senin, di hari beliau wafat, di saat orang sedang shalat shubuh dengan diimami Abu Bakar, mereka dikejutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyingkap tirai bilik Aisyah. Beliau memandang mereka dalam shaf shalat, kemudian beliau tersenyum sambil tertawa. Lalu Abu Bakar mundur ke belakang untuk mencapai shaff karena mengira bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin keluar untuk shalat. Orang-orang hampir tergoda dalam shalat mereka karena begitu senang dengan kondisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun beliau mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya, agar menyempurnakan shalat mereka lalu beliau masuk kembali ke dalam bilik dan menutup tirai.

Lalu pulanglah Abu Bakar ke keluarganya di Sanh, beberapa orang juga bubar, beranggapan Nabi telah sembuh. Di dalam bilik, Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa menyandarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dadanya ketika Abdurahman bin Abu Bakar masuk sambil membawa siwak. Lalu Aisyah menawarkan diri untuk mengambilkan siwak untuk nabi, dan juga karena melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang siwak milik Abdurrahman. Lalu Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa haluskan siwak itu untuk Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bersiwaklah Rasul dengan itu, sedangkan beliau masih dalam posisi bersandar pada Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa. Di antara kedua tangan beliau ada teko air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam air seraya mengucapkan:

“Tidak ada Illah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Sesungguhnya kematian itu ada sekaratnya.” Dan akhir kata yang di ucapkan beliau,“Ya Allah.. bersama Pendamping Yang Maha Tinggi.” Aisyah awalnya tidak menyadari telah berpulangnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke sisi Allah Ta’ala, karena usianya yang muda. Begitu beliau sadar, Aisyah meletakkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bantal, dan mulai meratap dan menangis bersama wanita lain.

Kesedihan memenuhi langit Madinah. Wajah-wajah kaum muslimin gelisah dan gelap karena kebingungan dan kesedihan. Bahkan ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, yang demikian agung itu pun, bangkit berdiri dan bersumpah di depan khalayak bahwa Rasul tidak wafat. Hingga Abu Bakar datanng dari Sanh. Dia menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mendapatinya telah ditutupi kain kerudung, kemudian ia menyingkap wajahnya dan menciumnya lalu menangis dan berkata:

“Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu, Engkau selalu baik, semasa hidup maupun setelah mati. Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya. Allah selamanya tidak akan menimpakan kepadamu dua kematian.”

Kemudian dia keluar, sementara ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu tengah berkhutbah di hadapan banyak masyarakat. Lalu Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berkata “Duduklah, Wahai ‘Umar!” Namun ‘Umar menolak untuk duduk. Orang-orang menyambut kedatangan Abu Bakar dan meninggalkan ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ia memuji Allah dan menyanjung-Nya, lantas berkata:

“Amma Ba’du, barang siapa (selama ini) menyembah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, dan barang siapa menyembah Allahl, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup, tidak pernah mati. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula)” (AzZumar :30).

Dan Allah Ta’ala berfirman,

” Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)” (Ali ‘Imran :144).””

Seketika orang-orang tersedu-sedu, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Demi Allah, sungguh seakan-akan orang-orang belum pernah mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini, hingga Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu membacanya, lalu orang-orang mengambil ayat ini darinya. Tidak seorang pun yang ia perdengarkan ayat ini kepadanya melainkan ia membacakannya.”

***

Beratnya hari-hari setelah wafatnya Rasulullah. Fitnah akan semakin mudah tumbuh. Dan wahyu Allah akan terputus dengan wafatnya utusan terakhir tersebut. Beratnya musibah ini dirasakan oleh para shahabat digambarkan dalam perkataan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu;

“Ketika hari pertama Rasulullah datang ke Madinah, maka bersinarlah segala sesuatu. Dan ketika terjadi hari wafat beliau, maka gelaplah segala sesuatu. Belum lama tangan-tangan kami menguburkan jenazah beliau, akan tetapi hati kami mengingkarinya (seakan-akan tidak percaya hal itu terjadi).”

Anas Radhiyallahu ‘anhu juga bercerita:

“Setelah meninggal Rasulullah, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu berkata pada ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu: ‘Mari kita berkunjung ke Ummu Aiman, sebagiaman Rasulullah pun suka mengunjunginya.’

Sesampainya disana, Ummu Aiman Radhiyallahu ‘anha menangis. Keduanya berkata, ‘Apa yang menyebabkan engkau menangis? Padahal apa yang ada di sisi Allah Ta’ala adalah yang terbaik bagi Rasulullah”

Ummu Aiman berkata “Aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit. Maka perkataan tersebut menggoncangkan hati keduanya (Abu Bakar dan ‘Umar), sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman.”

***

Tidaklah kematian Rasulullah melainkan ada banyak hikmah di dalamnya. Diantaranya adalah sebagai ujian kepada kita agar kita banyak mengoreksi iman dan perbuatan kita, apakah kita terlalu ghuluww atau malah terlalu ingkar pada Rasul-Nya. Adapun buah dari sifat pertengahan dari keduanya akan melazimkan seorang mukmin banyak-banyak bersyukur meski musibah dunia melandanya, karena musibah dunia tidak lebih berat sama sekali dengan musibah agama, bahkan musibah dunia dapat menjadi kafarat dosa bagi yang bersabar dari keluhan dan ratapan.

Semoga pengulangan kisah perpisahan ini akan menambah rasa rindu kita pada Rasulullah dan menambah keimanan kita kepada beliau. Bagi kita umat akhir zaman yang tidak sempat bertemu dengan-nya, maka sepantasnya kita menjadi yang paling merindukan perjumpaan dengan Rasulullah setelah perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Maka dengan itu semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan kita untuk berkumpul dengannya di Surga-Nya bersama orang-orang mukmin lain dan semoga kita termasuk orang-orang yang banyak bersyukur dan bersabar. Aamiin.

Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. 181. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. 182. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. (Ash-Shaffat:180-182)
——————————-

Artikel muslimah.or.id

Oleh : Lungit Fika Fauzia Ummu ‘Imran

Sumber :

Al Qur’an Al Karim

Al Habib Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi

Tafsir Juz’Amma, Syaikh Utsaimin

Ketika Wanita Mendapat Musibah, Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah

Sabtu, 13 Agustus 2016

Nasihat Untuk Penuntut Ilmu

RISALAH KECIL UNTUK PENUNTUT ILMU

~Jagalah Hati~

Banyak penuntut ilmu yang mengeluhkan hafalan Quran-nya yang stagnan, cuma jalan di tempat. Bertahun-tahun waktu ia habiskan, namun hafalannya cuma segitu-segitu saja. Atau mengeluhkan betapa susahnya mengokohkan apa yang pernah dihafal. Semua terasa begitu berat.
Belum lagi ilmu-ilmu lainnya; hadits-hadits yang dulu pernah dihafal, persoalan-persoalan fikih yang dulu pernah dipahami, ataupun untaian-untaian indah ulama-ulama terdahulu yang sempat mampir dalam memori.

Keluh-kesah ini terkadang membuat seseorang merasa frustasi dan putus asa. Saat kita bertanya-tanya dalam hati, mengapa ilmu-ilmu yang telah diperoleh, belum lagi membekas di dalam diri ?
Ada yang salah dalam diri ini, dan itu pasti.

Tatkala problem mendera, sebelum protes kesana-kemari, hingga menuduh pihak-pihak lain, maka tuduhan pertama wajib kita arahkan pada diri sendiri. Allah ta'ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

"Dan musibah apapun yang menimpamu, maka adalah buah dari perbuatan tanganmu"
Imam al-Ilbiriy mengatakan dalam mandzumahnya :

ونفسك ذم لا تذمم سواها
بعيب فهي أجدر من ذممت

"Dan jangan mencela siapapun atas aib diri kecuali dirimu,
Dialah yang paling pantas untuk dicela"

Sebagian ulama salaf pernah berujar,

آفة العبد رضاه عن نفسه، ومن نظر إلى نفسه باستحسان شيء منها فقد أهلكها، ومن لم يتهم نفسه على دوام الأوقات فهو مغرور
 
"Adalah petaka bagi seorang hamba bila ia merelakan nafsunya. Barangsiapa yang melihat dirinya dengan menganggap baik satu bagian darinya, maka sungguh ia telah mencelakakannya. Dan barangsiapa yang tidak menuduh dirinya dari waktu ke waktu, maka ia adalah orang yang tertipu."
Seorang Imam besar pernah mengeluhkan hal yang kurang lebih senada kepada gurunya. Sang Guru pun menasehati muridnya untuk meninggalkan dosa, seraya berkata,
"Ilmu adalah cahaya, dan Allah tidak menganugerahi cahaya-Nya kepada seorang pendosa".
Imam besar tersebut adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, dan guru beliau adalah Imam Waki'.

Ilmu memiliki cawan tempat dimana ia menetap. Dan cawan ilmu itu adalah hati.
Mari kita tanyakan pada diri kita masing-masing,
Sudahkah kita membersihkan cawan ilmu itu sendiri ?
Sejauh mana usaha kita membersihkan hati ?

Segala sesuatu memiliki wadah. Dan wadah ilmu, tempat ilmu bersemayam, adalah hati.
Tatkala kita menemukan sesuatu yang berharga dari perbendaharaan dunia, tentu kita akan mencari tempat yang paling aman untuk menyimpannya. Dan bagi seorang penuntut ilmu, ilmu jauh lebih berharga dari semua perbendaharaan dunia. Maka membersihkan hati semestinya menjadi fokus utama seorang penuntut ilmu.

"Karena perumpamaan ilmu di dalam hati bagaikan lentera. Apabila kaca lentera itu bening, maka cahaya yang dipancarkan akan terang benderang. Namun bila kaca lentera itu ditutupi kotoran, maka cahayanya akan menjadi redup."

Ada ungkapan yang mengatakan:

فالعلم جوهر لطيف لا يصلح الا للقلب النظيف

"Ilmu adalah permata yang halus, dia tidak layak kecuali untuk hati yang bersih"
Banyak sekali noda-noda yang harus kita singkirkan dari hati, yang kesemuanya kembali kepada 3 pokok sebagaimana yang disebutkan Ibnul Qayyim dlm kitab alfawaid :

1. Noda Syirik

2. Noda Bid’ah

3. Noda Maksiat

Allah berfirman, memerintahkan nabi Muhammad shallallahu'alaihiwasallam

ْوَثِيَابَكَ فَطَهِّر

"Dan pakaianmu, maka bersihkanlah."

Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir dalam menjelaskan arti pakaian pada ayat ini, apakah yang dimaksudkan adalah pakaian zahir ataukah batin. Namun Ibnu Jarir menyebutkan bahwa mayoritas salaf menafsirkan pakaian pada ayat ini dengan makna batin, hal itu disimpulkan setelah memperhatikan siyaq (runut) pada ayat-ayat sebelumnya.

Saudaraku fillah. .
Bila kita merasa malu di hadapan manusia saat berpakaian lusuh dan kumuh, maka sudah seharusnya kita merasa malu bila melihat hati kita yang kumuh dan lusuh denga noda-noda dosa. Karna Allah tidak memandang rupa dan harta kita, tapi melihat hati dan amalan kita, sebagaiman sabda nabi shallallahu'alaihiwasallam,

ان الله لا ينظر الي صوركم واموالكم ولكن ينظر الي قلوبكم واعمالكم

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amalan kalian."

Sahl bin Abdullah Tusturiy pernah mengatakan,

حرام علي قلب ان يدخله النور وفيه شيء مما يكره الله

"Haram bagi hati untuk dimasuki cahaya, bila di dalamnya ada perkara-perkata yang dibenci oleh Allah."

Semoga kita diberi taufik untuk membersihkan hati-hati kita, dan kelak kembali kepadanya dengan hati yang selamat.

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ * إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

"Hari dimana tiada bermanfaat lagi harta dan anak keturunan, kecuali hamba yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat."

اللهم آت نفوسنا تقواها وزكها أنت خير من زكاها أنت وليها ومولاها

Ya Allah..! Anugerahkanlah ketakwaan pada jiwa-jiwa kami, bersihkanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang membersihkan jiwa. Engkaulah Penguasa dan Pemiliknya.

by: Arif Rinanda
Editor: ACT El Gharantaly
Madinah 09-07-1436 H

Jumat, 12 Agustus 2016

Cara shalat jenazah

Cara ringkas shalat jenazah

- Bacaan shalawat

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Allaahumma sholli 'alaa muhammad, wa 'alaa aali muhammad, kamaa shollaita 'alaa ibroohiim, wa 'alaa aali ibroohiim, innaka hamiidun majiid. Allaahumma baarik 'alaa muhammad, wa 'alaa aali muhammad, kamaa baarokta 'alaa ibroohiim, wa 'alaa aali ibroohiim, innaka hamiidun majiid.

Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Berilah berkah kepada Muhammad dan keluarganya (termasuk anak dan istri atau umatnya), sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.

(HR. Al-Bukhari)

- Doa takbir ke-3

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ (وَعَذَابِ النَّارِ)

Allaahummaghfir lahu warhamhu wa 'aafihi wa'fu 'anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi' madkholahu, waghsilhu bilmaa-i wats-tsalji wal barod, wa naqqihi minal khothooyaa kamaa naqqoitats-tsaubal abyadho minad-danas, wa abdilhu daaron khoiron min daarihi, wa ahlan khoiron min ahlihi, wa zaujan khoiron min zaujihi, wa adkhilhul jannata, wa a'idzhu min 'adzaabil qobri (wa 'adzaabin-naar).

Ya Allah, ampunilah dia (mayit), berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempatkanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air, salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.

(HR. Muslim)

- Doa takbir ke-4

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا. اَللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ، اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ

Allaahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa wa syaahidinaa wa ghoo-ibinaa wa shoghiirinaa wa kabiirinaa wa dzakarinaa wa untsaanaa. Allaahumma man ahyaytahu minnaa fa-ahyihi 'alaal islaam, wa man tawaffaytahu minnaa fatawaffahu 'alaal iimaan. Allaahumma laa tahrimnaa ajrohu wa laa tudhillanaa ba'dahu.

Ya Allah, ampunilah orang yang hidup dan yang mati di antara kami, orang yang hadir dan yang tidak hadir, yang masih kecil dan yang sudah dewasa, laki-laki maupun perempuan. Ya Allah, orang yang Engkau hidupkan di antara kami, hidupkan dengan memegang ajaran Islam, dan orang yang Engkau matikan di antara kami, maka matikan dengan memegang keimanan. Ya Allah, jangan halangi kami untuk memperoleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya.

(HR. Ibnu Majah)

Hal-hal lain yg penting perlu diperhatikan :

1. Bila jenazahnya laki-laki imam berada lurus dikepala mayit dan bila wanita imam berada ditengah.
2. Membagi makmum menjadi 3 shaf jika memungkinkan jika tidak bisa satu shaf.
3. Boleh sekali salam saja.
4. Tidak ada doa berjamaah setelah salam, jenazah langsung diangkat menuju pekuburan.