Selasa, 17 Mei 2016

THuma'Ninah

THUMA'NINAH

Oleh
Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr

Diantara kesalahan fatal yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam shalat mereka adalah meninggalkan thuma'ninah, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggapkan orang yang tidak melakukannya sebagai pencuri terjelek.

Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِى يَسْرِقُ مِنْ صَلاتِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: "لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا

'Pencuri terjelek adalah orang yang mencuri (sesuatu) dari shalatnya.' Para Shahabat Radhiyallahu anhum bertanya, 'Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Bagaimana seseorang mencuri sesuatu dari shalatnya ?' Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 'Dia tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya.'

Dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap orang yang mencuri sesuatu dari shalatnya lebih buruk daripada orang yang mencuri harta.

Thuma'nînah dalam shalat itu termasuk salah satu rukun shalat. Shalat tidak dianggap sah tanpa ada thuma'nînah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kepada salah seorang shahabat yang melakukan shalat dengan buruk :

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Jika engkau berdiri hendak melakukan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah ayat al-Qur'an yang mudah bagimu. Setelah itu, ruku'lah sampai engkau benar-benar ruku' dengan thuma'nînah. Kemudian, bangunlah sampai engkau tegak berdiri, setelah itu, sujudlah sampai engkau benar-benar sujud dengan thuma'nînah. Kemudian, bangunlah sampai engkau benar-benar duduk dengan thuma'nînah. Lakukanlah itu dalam shalatmu seluruhnya ![1]

Dari hadits ini, para ahli ilmu mengambil kesimpulan bahwa orang yang tidak meluruskan tulang punggungnya dalam ruku' dan sujudnya, maka shalatnya tidak sah dan dia wajib mengulanginya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah shahabat yang melakukan shalatnya dengan tidak benar di atas :

ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ

Kembalilah dan shalatlah ! karena sesungguhnya engkau belum melakukan shalat.

Dalam banyak hadits, sering disebutkan perintah agar kaum Muslimin mengerjakan dan menyempurnakan shalat serta peringatan keras dari perbuatan meninggalkan thuma'nînah atau menghilangkan salah satu rukun ataupun hal-hal yang diwajibkan dalam shalat. Diantara adalah hadits yang disebutkan di atas , juga hadits-hadits berikut :

1. Hadits riwayat al-Bukhâri dan Muslim dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَتِمُّوا الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ

Sempurnakanlah ruku' dan sujud kalian. [2]

Kesempurnaan itu akan terealisasi jika keduanya dilakukan dengan thuma'ninah

2. Diantara dalil juga adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Ali bin Syaiban, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan, "Kami shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu sepintas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dengan mata beliau, ada seorang lelaki yang tidak meluruskan tulang punggungnya dalam ruku' dan sujud. Setelah selesai shalat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِيْنَ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُقِيْمَ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ

Wahai kaum Muslimin, tidak ada shalat bagi orang yang tidak meluruskan tulang punggungnya dalam ruku' dan sujud[3]

Maksudnya, dia tidak meluruskan punggungnya setelah ruku dan sujud. Jadi, hadits ini menunjukkan bahwa berdiri dan duduk serta thuma'nînah pada keduanya termasuk rukun.

3.  Abu Ya'la rahimahullah meriwayatkan dalam Musnadnya (no. 7184; dan diriwayatkan juga oleh Ath-Thabarani di dalam al-Kabîr, no. 3840; dihasankan oleh al-Albani dalam Shifat Shalat, hlm. 131) dengan sanad yang hasan :

أَن ّرَسُولَ اللَّهِ n رَأَى رَجُلا لا يُتِمَّ رُكُوعَهُ يَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ وَهُوَ يُصَلِّي ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’nya, dan mematuk di dalam sujudnya, ketika dia sedang shalat, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang ini mati dalam keadaannya seperti itu, dia benar-benar mati tidak di atas agama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ".

Ini adalah ancaman keras, dikhawatirkan pelakunya mengalami sû-ul khâtimah, yaitu mati tidak di atas agama Islam, kita berlindung kepada Allâh dari keadaan demikian.

4.  Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata :

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ n بِثَلَاثٍ وَنَهَانِي عَنْ ثَلَاثٍ ... وَنَهَانِي عَنْ نَقْرَةٍ كَنَقْرَةِ الدِّيكِ وَإِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ وَالْتِفَاتٍ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahku dengan tiga perkara dan melarangku dari tiga perkara... melarangku dari mematuk seperti patukan ayam jantan, duduk iq'â seperti duduk iq'ânya anjing, dan menoleh seperti menolehnya musang". [HR. Ahmad, no. 8106; dihasankan oleh al-Albâni di dalam Shahîh at-Targhîb, no. 555]

5. Imam al-Bukhâri meriwayatkan dalam kitab Shahîhnya (no. 791) :

أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ اليَمَانِ رَأَى رَجُلًا لَا يُتِمُّ رُكُوعَهُ وَلَا سُجُودَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ قَالَ لَهُ حُذَيْفَةُ "مَا صَلَّيْتَ قَالَ وَأَحْسِبُهُ قَالَ لَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ سُنَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " –وفي رواية-: وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الْفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا

Bahwa Hudzaifah bin al-Yamân melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya. Ketika dia sudah menyelesaikan shalatnya, Hudzaifah berkata kepadanya: "Engkau belum mengerjakan shalat". Perawi berkata, ‘Dan aku mengira Hudzaifah berkata kepadanya, "Jika engkau mati (padahal shalatmu seperti ini), engkau mati tidak di atas sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Di dalam satu riwayat, “Jika engkau mati (padahal shalatmu seperti ini), engkau mati tidak di atas fithrah yang Allâh jadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas fathrah tersebut”.

6.  Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Thalq bin ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى صَلَاةِ عَبْدٍ لَا يُقِيمُ فِيهَا صُلْبَهُ بَيْنَ رُكُوعِهَا وَسُجُودِهَا

Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak melihat shalat seorang hamba yang tidak di dalam shalatnya tidak menegakkan tulang punggungnya di antara ruku’ dan sujudnya.

7.  Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahîhnya (no. 498) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata :

وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِىَ جَالِسًا

Dan beliau (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) jika mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau tidak akan turun bersujud sampai berdiri dengan sempurna. Dan jika beliau mengangkat kepalanya dari sujud, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersujud sampai duduk dengan sempurna.

Sesungguhnya banyak sekali hadits-hadits yang berisi perintah menjaga kesempurnaan ruku’, sujud dan bangkit dari keduanya, dan menunjukkan bahwa hal itu termasuk rukun shalat. Dan shalat itu tidak sah tanpa dia. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits, seperti al-Bukhâri, Muslim, Sunan Empat, dan lainnya. Sebagian hadits-hadits itu telah disebutkan di depan. Maka kewajiban setiap Muslim menjaga hal itu dengan sempurna dalam shalatnya. Dia harus menyempurnakan ruku’nya, i'tidalnya, sujudnya dan duduknya. Semua itu dilakukan dengan sempurna dalam shalatnya, dari awal sampai akhir, dengan cara yang bisa mendatangkan ridha Allâh Azza wa Jalla , sebagai pengamalan dari sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang dengan sunnah beliau yang telah bersabda :

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat. [HR. Al-Bukhâri, no. 631, 6008, 7246; dari hadits Mâlik bin al-Huwairits Radhiyallahu anhu]

Diantara yang mengherankan, ada orang berada di dalam rumahnya, lalu dia mendengar adzan. Kemudian, dia segera berdiri, bersiap-siap dan keluar dari rumahnya hendak melaksanakan shalat, bukan untuk yang lain. Ada kemungkinan dia keluar pada waktu malam yang gelap lagi hujan, menginjak lumpur, melewati air sehingga bajunya basah; Jika dia keluar, disaat malam musim panas, maka dia pun tidak aman dari sengatan kalajengking dan serangga berbisa lainnya dalam gelapnya malam; Ada kemungkinan juga, dia berangkat keadaan sakit dan lemah, Meski demikian, dia tetap keluar menuju masjid. Dia siap menanggung semua itu karena ia lebih mengutamakan shalat dan karena cintanya kepada shalat juga karena niatnya untuk melaksanakan shalat. Dia tidak keluar rumah untuk selainnya. Namun ketika dia masuk shalat jama’ah bersama imam, setan mulai menipunya, akhirnya dia pun mendahului imam dalam rukû’, sujud, bangkit dan turun. Setan memperdayainya agar shalatnya batal dan amalannya gugur, sehingga dia keluar dari masjid tanpa mendapatkan pahala shalat.

Anehnya, mereka semua meyakini bahwa tidak ada seorang makmum pun di belakang imam yang boleh berpaling (selesai-red) dari shalatnya sampai imam berpaling. Semua menanti imam sampai mengucapkan salam. Namun (meskipun mereka meyakini itu-red), mereka semua mendahului imam di dalam ruku’, sujud, bangkit, dan turun –kecuali orang yang dikehendaki oleh Allâh- karena setan memperdaya mereka, menjadikan mereka meremehkan dan merendahkan shalat”. [Dari kitab ash-Shalât karya imam Ahmad, dimuat di dalam Thabaqat Hanabilah, 1/353]

Berdasarkan nash-nash di atas dan lainnya, yang telah shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Ulama Islam berpendapat bahwa menegakkan rukun-rukun dalam rukû’, sujud, dan berdiri di antara keduanya, dan duduk di antara dua sujud, merupakan kewajiban dalam shalat dan termasuk rukun shalat. Shalat menjadi batal dengan meninggalkannya, dan orang yang melakukannya wajib mengulangi shalat.

Riwayat dari perkataan ulama tentang hal ini banyak sekali, tidak mungkin membawakan semuanya atau sebagiannya di kesempatan ini. Tetapi saya akan mencukupkan dengan satu riwayat tentang hal ini dari seorang imam yang agung, yaitu imam Qadhi Abu Yusuf, murid imam Abu Hanifah rahimahullah. Imam Abu Yusuf berkata :

تَعْدِيْلُ الْأَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَهُوَ الطُّمَأْنِيْنَةُ فِي الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ، وَكَذَا إِتْمَامُ الْقِيَامِ بَيْنَهُمَا وَإِتْمَامُ الْقُعُوْدِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ فَرْضٌ تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِتَرْكِهِ

Menegakkan rukun-rukun shalat, yaitu tumakninah di dalam ruku’ dan sujud, demikian juga menyempurnakan berdiri di antara keduanya, dan menyempurnakan duduk di antara dua sujud, merupakan kewajiban, shalat menjadi batal dengan sebab meninggalkannya.

Banyak Ulama telah meriwayatkan perkataan ini dari imam Abu Yûsuf rahimahullah. [Termasuk yang meriwayatkan perkataan ini darinya adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam kitab at-Taudhîh ‘an Tauhîdil Khallâq, hlm. 260-261]

Sesungguhnya kewajiban setiap Muslim untuk menjaga shalatnya, dan menegakkan shalatnya dengan sempurna dalam menjaga syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannyadan sunah-sunahnya. Allâh Azza wa Jalla telah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُون ﴿١﴾ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya. [al-Mukminûn/23: 1-2]

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (Ashar). Berdirilah untuk Allâh (dalam shalatmu) dengan khusyu'. [Al-Baqarah/2: 238]

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. [Al-Ma’un/107: 4-5]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat (yang artinya), “(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”, yaitu adakalanya (lalai dari pelaksanaan shalat-red) di awal waktunya, dia selalu atau sering menunda pelaksanaannya di akhir waktunya; Adakalanya (lalai) dari pelaksanaan shalat dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya sesuai dengan yang telah diperintahkan; Atau adakalanya (lalai) dari khusyû’ dalam shalat dan tadabbur (merenungkan) makna-maknanya. Lafazh (ayat tersebut di atas) mencakup semua itu. Dan setiap orang yang memiliki sebagian sifat ini termasuk bagian dari (kandungan-red) ayat ini. Barangsiapa memiliki seluruh sifat itu, maka dia mendapatkan bagian yang sempurna dari ayat ini, dan (dengan demikian-red) sempurna pula padanya sifat nifaq amaliy (kemunafikan secara amalan)”. [Tafsir Ibnu Katsir, 8/493]

Semoga Allâh melindungi kita dari hal di atas, dan semoga Dia memberikan taufiq kepada kita untuk mengamalkan kitab-Nya dan berpegang kepada sunah Nabi-Nya. Dan semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita orang-orang yang menegakkan shalat dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, dan kewajiban-kewajibannya. Dan semoga Allâh menerima dari kita perkataan yang baik dan amalan yang lurus, dan mengampuni kesalahan kita yang berupa kekeliruan, kekurangan, atau ketergelinciran.

Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri,no. 757 dan Muslim,no. 397 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[2]. HR. al-Bukhâri,no. 6644 dan Muslim,no. 425
[3]. HR. Ahmad, no. 16297; Ibnu Majah,

Jumat, 13 Mei 2016

Hukum Isbal

ISBAL TAMPA BERMAKSUD SOMBONG TETAP DI INGKARI OLEH NABI..

Imam Ahmad mencatat sebuah riwayat dalam Musnad-nya (4 / 390) :

( حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَيْسَرَةَ ، عَنْ عَمْرِو ابْنِ الشَّرِيدِ ، عَنْ أَبِيهِ أَوْ : عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ عَاصِمٍ ، أَنَّهُ سَمِعَ الشَّرِيدَ يَقُولُ : أَبْصَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَجُرُّ إِزَارَهُ ، فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ : هَرْوَلَ ، فَقَالَ : ” ارْفَعْ إِزَارَكَ ، وَاتَّقِ اللَّهَ ” ، قَالَ : إِنِّي أَحْنَفُ ، تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ ، فَقَالَ : ” ارْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ ” ، فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلَّا إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ ، أَوْ : إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ

Sufyan bin ‘Uyainah menuturkan kepadaku, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amr bin Asy Syarid, dari ayahnya, atau dari Ya’qub bin ‘Ashim, bahwa ia mendengar Asy Syarid berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihat seorang laki-laki yang pakaiannya terseret sampai ke tanah, kemudian Rasulullah bersegera (atau berlari) mengejarnya. Kemudian beliau bersabda:

“angkat pakaianmu, dan bertaqwalah kepada Allah“. Lelaki itu berkata: “kaki saya bengkok, lutut saya tidak stabil ketika berjalan”. Nabi bersabda: “angkat pakaianmu, sesungguhnya semua ciptaan Allah Azza Wa Jalla itu baik”.

Sejak itu tidaklah lelaki tersebut terlihat kecuali pasti kainnya di atas pertengahan betis, atau di pertengahan betis.

Derajat Hadits

Hadits ini shahih, semua perawinya tsiqah. Ya’qub bin ‘Ashim dikatakan oleh Ibnu Hajar: “ia maqbul” . Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Dan demikian juga Adz Dzahabi yang berkata: “ia tsiqah”. Maka inilah yang tepat insya Allah. Al Albani berkata: “sanad ini sesuai syarat Bukhari-Muslim jika (Ibrahim meriwayatkan) dari ‘Amr dan sesuai syarat Muslim jika dari Ya’qub. Dan yang lebih kuat adalah yang pertama (dari ‘Amr)” (Silsilah Ash Shahihah, 3/427).

Faidah Hadits

Hadits ini dalil terlarangnya isbal bagi laki-laki, yaitu menjulurkan atau memakai pakaian hingga melebihi mata kaki. Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار

“Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka” (HR. Bukhari 5787).

Hadits ini bantahan telak bagi pendapat yang mengatakan bolehnya isbal jika bukan karena sombong.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengingkari sahabatnya yang isbal tanpa mengecek maksud sahabat tersebut ber-isbal karena suatu maksud yang mengandung kesombongan atau tidak. Dan ini sering beliau lakukan kepada para sahabat, diantaranya juga kepada Ibnu ‘Umar:
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ قَالَ: زِدْ! فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ

“Aku (Ibnu Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah, naikkan sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!” Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.” (HR. Muslim no. 2086)

juga kepada Sufyan bin Abi Sahl: dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذ بحجزة سفيان بن أبي سهل فقال يا سفيان لا تسبل إزارك فإن الله لا يحب المسبلين

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangu kamar Sufyan bin Abi Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah tidak mencintai orang-orang yang musbil’” (HR. Ibnu Maajah no.2892, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)

dan para sahabat yang lain.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengecek maksud para sahabat ketika berisbal namun langsung diingkari, ini menunjukkan isbal itu terlarang walaupun bukan karena sombong.
Dalam hadits ini bahkan sahabat Nabi yang isbalnya diingkari oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menjelaskan maksud dan tujuan dia ber-isbal, yaitu karena ada kekurangan pada kakinya, bukan sesuatu yang mengandung kesombongan. Namun tetap diingkari isbal-nya oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Ciptaan Allah itu semuanya baik.

[Faidah dari Ustadzuna Badrusalam, Lc

Sabtu, 07 Mei 2016

Istri Khulafaur Rhasyidi

LEBIH TAHU SKUAD BARCA APA PARA ISTRI KHULAFAUR  RHASYIDIN..?

Ketika diajukan pertanyaan:

“Siapa saja nama anak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Mungkin ada sebagian kita tidak tahu. Nama-nama anak beliau: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kulsum, Fatimah (Ibu mereka adalah Khadijah radhiallahu ‘anha) dan yang terakhir adalah Ibrahim (ibunya adalah Mariah Al-Qibtiyah, Budak beliau hadiah dari raja Mesir)

Kemudian jika diajukan pertanyaan:

“Siapa saja skuad Inti Barcelona?”

“siapa saja nama anggota boyband  SUJU?”

Tentu sebagian dari mereka yang Cinta dan ngefans akan hapal nama-nama mereka, hapal nama kecilnya, hapal julukannya bahkan hapal seluk-beluk kehidupan dan hobi mereka.

Nah, jika kita mengaku cinta dan ngefans terhadap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu kita tahu nama anak-anak beliau. Begitu juga jika kita mengaku cinta terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, tentu kita berusaha mengenal mereka dan meneladani sirah hidup mereka,

Berikut adalah nama-nama Anak dan Istri dari khulafaurRasyidin, agar kita bisa mengenal mereka dan mencontoh serta meneladani mereka.

Pertanyaan kepada Prof. Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah:

س24- هل كان الخلفاء الراشدون لديهم أكثر من زوجة ؟

Apakah khulafaur Rasyidin memiliki lebih dari satu Istri?

Jawaban:

جـ – نعم تزوج أبو بكر قتيلة بنت عبد العزى فولدت له عبد الله وأسماء ثم تزوج أم رومان وهي أم عائشة وعبد الرحمن ثم تزوج أسماء بنت عميس بعد جعفر بن أبي طالب فولدت له محمد بن أبي بكر وتزوج حبيبة بنت خارجة وهي أم ابنته أم كلثوم بنت أبي بكر – رضي الله عنه.

Ya, Abu Bakar menikahi:

1.Qutailah bin Abdul Uzza dan melahirkan: Abdullah dan Asma’

2.kemudian menikahi Ummu Rumman (binti Amir), ia adalah ibu dari ‘Aisyah dan Abdurrahman

3.kemudian menikahi Asma’ binti Umais (suami sebelumnya Ja’far bin Abi Thalib) dan melahirkan Muhammad bin Abu Bakar

4.Kemudian menikahi Habibah binti Kharijah, ia dalah ibu dari Ummu Kultsum binti Abu Bakar radhiallahu ‘anhu

أما عمر فتزوج زينب بنت مظعون وهي أم عبد الله وعبد الرحمن وحفصة وتزوج أم كلثوم بنت علي بن أبي طالب وهي أم زيد ورقية وتزوج أم كلثوم بنت جرول وهي أم زيد الأصغر وعبيد الله وتزوج جميلة بنت ثابت وهي أم عاصم وتزوج أم حكيم بنت الحارث فولدت له فاطمة وتزوج عاتكة بنت ابن عمه زيد بن عمرو وهي أم عياض بن عمر.

Adapun Umar, ia menikahi:

1.Zainab binti Mazun, ibu dari Abdullah, Abdurrahman dan Hafshah

2.Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, ibu dari Zaid dan Ruqayyah

3.Ummu Kultsum binti Jarul, ibu dari Zaid “kecil” dan Ubaidillah

4.Jamilah binti Tsabit, ibu dari ‘Ashim

5.Ummu Hakim binti Al-Harits, melahirkan Fatimah

6.Atikah binti Zaid bin ‘Amr (anak pamannya) ibu dari ‘Iyadh bin Umar

أما عثمان فتزوج رقية بنت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فماتت في غزوة بدر ثم تزوج أختها أم كلثوم فماتت في حياة النبي – صلى الله عليه وسلم – وتزوج فاطمة بنت غزوان وله منها أولاد، وتزوج أم عمر بنت جندب وفاطمة بنت الوليد وأم البنين بنت عيينة بن حصن ورملة بنت شيبة ونائلة بنت الفرافصة وكلهن لهن أولاد.

Adapun Ustman, ia menikahi:

1.Ruqayyah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal pada perang Badar

2.Saudarinya, Ummu Kultsum binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

3. Fatimah binti Ghazwan, punya beberapa anak

4. Ummu Amr binti Jandab

5. Fatimah binti Walid

6.  Ummul Banin binti Ainiyah

7. Ramlah bani Syaibah

8. Nailah binti Firafashah, semuanya memiliki beberapa anak

أما علي فتزوج فاطمة ثم خولة بنت جعفر الحنفية وليلى بنت مسعود وأم البنين بنت حزام وأسماء بنت عميس والصهباء بنت ربيعة وأمامة بنت أبي العاص بن الربيع وأم سعيد بنت عروة بن مسعود ومحياة بنت امرئ القيس عدي وله منهن أولاد، ولهم أولاد من الإماء كثير.

Adapun Ali, ia menikahi:

1.Fatimah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

2. Kaulah binti Ja’far Al-Hanifiyah

3. Laila binti Mas’ud

4. Ummul Banin binti Hizam

5.Asma’ binti ‘Umais

6. Shahba’ binti Rubai’ah

7.Umamah binti Abi Al-Ash bin Ar-Rubai’

8.Ummu Sa’id binti ‘Urwah bin Mas’ud

9.Mihyah binti Imrail Qais Adi, semuanya memiliki beberapa anak

Sumber: http://ibn-jebreen.com/?t=books&cat=6&book=50&page=2147

Catatan: masih ada beberapa nama Istri dan Anak yang masih belum disebut.

Raehanul Bahraen,

Artikel www.muslimafiyah.com

Rabu, 04 Mei 2016

Ciri Wanita Ahli Surga

CIRI WANITA PENGHUNI SURGA...
.
Ustadz Firanda Andirja, MA
==========================
Kepada para istri yang mendambakan untuk menjadi penghuni Surga...
.
Tentunya untuk menjadi penghuni surga, bukanlah perkara yang mudah, sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam telah mengisyaratkan hal ini dalam haditsnya.
.
Beliau bersabda:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ

"Bahwasanya surga itu diliputi/dipagari dengan perkara-perkara yang dibenci."
(HR Muslim dari shahābat Anas bin Mālik)
.
》 Artinya seorang jika hendak masuk dalam surga, dia harus melewati hal-hal yang bertentangan dengan hawa nafsunya, yang dia benci, yang bertentangan dengan egonya (sikap egoisnya).
.
Ada satu sifat yang disebutkan oleh Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam diantara sifat penghuni surga. Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

وَنِسَاؤُكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ الْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا الَّتِي إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا وَتَقُوْلُ لاَ أَذُوْقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى

"Dan istri-istri kalian yang akan masuk surga yaitu yang berusaha meraih kecintaan suami (penyayang), yang subur (mudah beranak banyak), serta yang senantiasa kembali kepada suaminya, yaitu jika suaminya marah maka diapun segera datang kepada suaminya dan meletakkan tangannya di tangan suaminya dan berkata:
'Wahai suamiku, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak sampai engkau maafkan aku (ridha kepadaku)'."
(HR An Nasāi dalam As Sunan Al Kubra 5/361, Ath Thabrāni dalam Al Awshath 6/11, dishahihkan oleh Syaikh Al Albāni karena syawahidnya (Ash Shahīhah 1/578 no 287), dari shahābat Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallāhu 'anhu)
.
1》 AL WADŪD | Seorang wanita yang berusaha meraih kecintaan suaminya.
.
Dia berusaha dengan sifat dan akhlaqnya yang mulia; dengan ramah dan tutur kata yang indah, berusaha berpenampilan yang menarik agar meraih kecintaan suaminya.
.
2》 AL WALŪD | Wanita yang subur yang memberikan keturunan kepada suaminya.
.
Dan yang ingin kita fokuskan pada kesempatan kali ini adalah sifat yang ke-3, kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam
.
3》 AL AŪD 'ALA ZAWJIHĀ | Seorang wanita yang senantiasa kembali kepada suaminya.
.
Inilah penghuni surga..
.
Ibu-ibu dan para istri yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla,
.
Kelihatannya sifat ini merupakan sifat yang sepele namun sesungguhnya tidak demikian.
.
Kenapa?
.
Karena banyak wanita atau sebagian wanita tidak mudah untuk meminta maaf kepada suaminya, meskipun terkadang dia yang salah. .
Kenapa?
.
Karena egonya yang dia kedepankan.
.
Dan iblis/syaithan datang membisikan kepada dia untuk tidak minta maaf kepada suaminya, padahal dia tahu dia yang salah.
.
Bahkan terkadang dia ingin suaminya yang minta maaf.
.
Dia tahu dia bersalah namun dia ingin melemparkan kesalahan kepada suaminya dan dia ingin suaminya yang minta maaf (karena dia punya ego).
.
Dan ini adalah benih-benih yang bisa menimbulkan kerusakan dalam rumah tangga dan menghancurkan rumah tangga yang telah dibangun selama ini.
.
Oleh karenanya, seorang wanita harus mengalahkan egonya dan jika dia bersalah maka segera datang kepada suaminya.
.
Meskipun hati suaminya lagi marah/keras, tetapi tatkala melihat istrinya bersifat demikian, (yaitu) mengakui kesalahannya, apalagi sambil memegang tangan suaminya sambil mengatakan:
"Wahai suamiku, aku tidak bisa tidur sampai kau maafkan aku, sampai kau ridha kepadaku."
.
Maka inilah yang disebut wanita penghuni surga.
.
Saya sampaikan kepada para istri dan para ibu-ibu,
.
Jangan pernah malu jika Anda bersalah.
.
Jika Anda bersalah maka segeralah datang kepada suami dan minta maaf, ini merupakan bentuk menjalankan sunnah Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam.
.
Jadilah Anda penghuni surga !
.
Kalahkan ego anda.
.
Syaithān, iblis yang ingin agar Anda berpisah dari suami Anda.
.
Bila tidak berpisah, iblis ingin kehidupan rumah tangga Anda dan suami dalam kondisi ruwet/semrawut; tidak ada kebahagian, tidak ada mawadah dan rahmah.
.
Inilah yang di inginkan iblis.
.
Bayangkan, jika Anda tidak minta maaf maka api permusuhan berhari-hari akan menyala antara Anda dan suami.
.
Oleh karenanya...
.
Kalahkan ego, dan jika punya salah segeralah minta maaf kepada suami !
.
Terapkan sunnah Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam !
.
Jadilah Anda sebagai penghuni surga !
.
Kemudian saya ingatkan juga kepada para istri,
.
Selain Anda memiliki sifat mudah untuk minta maaf, juga usahakanlah agar semantiasa memberi udzur kepada suami.
.
Suami mungkin melakukan kesalahan disuatu hari, namun suamipun punya ego sehingga enggan untuk minta maaf.
.
Bila dia minta maaf kepada istrinya seakan-akan harga dirinya akan jatuh, padahal tidak !
.
Suami yang sejati adalah suami yang mau mengakui kesalahan.
.
Apalagi mengakui kesalahan dihadapan istrinya, yaitu seorang wanita yang sayang kepada dia, yang menghabiskan waktunya berhikmad kepada suaminya.
.
Maka seorang suami yang sejati/gentle dia berani minta maaf kepada istrinya.
.
Namun, kalau seorang istri memiliki (menghadapi) model suami yang tidak mau minta maaf, maka hendaknya dia berusaha memahami kondisi suaminya.
.
Karena terkadang sebagian suami merasa berat jika mengucapkan minta maaf kepada istri dengan mengucapkan:
"Wahai istriku, maafkan aku."
.
Namun dia minta maaf dengan cara yang lain.
.
Misalnya terjadi keributan dan sang suami merasa bersalah, kemudian dia mengatakan:
"Ayo, malam ini kita makan direstoran."
.
Sudah...!
.
Cukup (bagi) seorang istri bila suaminya mengajak makan malam di restoran berarti maksudnya dia mengatakan:
"Saya minta maaf, saya salah."
.
Jangan kita tunggu suami harus mengungkapkan minta maaf dengan lisannya.
.
Ini tidak mudah bagi setiap suami.
.
Oleh karenanya, bila suami sudah mulai merubah sikapnya, misalnya mengajak makan malam atau mulai memijit-mijit istrinya, dielus-elus rambutnya, berarti dia (suami) sudah minta maaf.
.
Dengan demikian hendaknya seorang istri memahami karakter suami yang cara minta maafnya terkadang tidak dengan lisan, tetapi dengan sikap.
.
Dengan demikian berumah tangga akan mudah dan berjalan dengan penuh mawadah & rahmah.
.
Setiap ada kesalahan dan setiap ada keretakan akan mudah untuk segera dikembalikan dan diperbaiki.
.
Semoga kita semua merasakan kehidupan rumah tangga yang penuh mawadah dan rahmah dan diberkahi oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
.
Jadilah Anti sebagai wanita yang mudah meminta maaf !
.
Jadilah Anti sebagai penghuni surga !
.
وبالله التوفيق

Minggu, 01 Mei 2016

Derajat Hadist

# Mustholah Hadith - Derajat-Derajat Hadith

~ تيسير مصطلح الحديث, صالح العثيمين

1) Shohih lidzatihi (shohih dengan sendirinya) (الصحيح لذاته)

Shohih lidzatihi adalah hadith yang para perawinya:
Adil (عدل),
Hafalannya kuat (تام الضبط),
Sanadnya bersambung (بسند متصل),
Terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (سلم من الشذوذ و العلة القادحة).

Contoh: Sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

من يرد اللّه به خيرا يفقهه في الدين

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama.” (HR. Bukhori dan Muslim)

2) Shohih lighoirihi (shohih dengan bantuan) (الصحيح لغيره)

Shohih lighoirihi adalah hadith hasan dengan sendirinya (hasan lidzatihi) apabila memiliki beberapa jalur periwayatan yang berbeda-beda.

Contoh: Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash rodhiallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta.

Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.

Hadith Ini diriwayatkan Ahmad dari jalan Muhammad bin Ishaq dan diriwayatkan Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib. Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian tidak boleh sampai derajat shohih, hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara keseluruhan, maka jadilah hadith shohih lighoirihi. Hadith ini dinamakan shohih lighoirihi, walaupun nilai masing-masing jalan secara bersendirian tidak sampai derajat shohih, namun karena bila dinilai secara keseluruhan, boleh saling menguatkan hingga mencapai derajat shohih.

3) Hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) (الحسن لذاته)

Hasan lidzatihi adalah hadith yang diriwayatkan oleh para perawi yang adil tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbezaan antara hadith ini dengan hadith shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadith hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan.

Contoh: Sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,

مفتاح الضلاة الطهور، و تحريمها التكبير، و تحليلها التسليم

“Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”

Hadith-hadith yang dimungkinkan hadith hasan adalah hadith yang diriwayatkan Abu Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Sholah.

4) Hasan lighoirihi (hasan dengan bantuan) (الحسن لغيره)

Hasan lighoirihi adalah hadith yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang boleh saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau perawi yang pernah tertuduh membuat hadith palsu.

Contoh: hadith dari Umar ibn Khatthab rodhiallahu’anhu berkata bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi)

Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadith ini memiliki banyak hadith penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadith-hadith tersebut menuntut agar hadith tersebut dinilai sebagai hadith hasan.

Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya secara bersendirian maka hadith tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan, maka hadith tersebut menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan.

5) Hadits dho’if (الضعيف)

Hadits dho’if adalah hadith yang tidak memenuhi persyaratan shohih dan hasan.

Contoh: ”Jagalah diri-diri kalian dari gangguan orang lain dengan buruk sangka.”

Hadith yang dho’if, tidak memberi faedah dzon (sangkaan) dan amal. Dan tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Tidak boleh pula menyebutkan hadith dho’if tanpa diiringi dengan penjelasan tentang dho’ifnya. Kecuali untuk masalah motivasi dan menakuti-nakuti (targhib wa tarhib). Maka diperbolehkan menyebutkan hadits dho’if dengan beberapa persyaratan menurut sebagian ulama. Sejumlah ulama memberi kemudahan untuk menyebutkan hadits dho’if dengan tiga syarat* .(*Namun, untuk orang awam yang bukan pakar hadith, cukuplah sekadar hadith-hadith shohih dan hasan.)

Sumber: “Taisir Musthalah Hadits” di https://muslimah.or.id

#hadith #shohih #hasan #dhoif