Rabu, 08 Maret 2017

Dimana Allah Sebelum Al Arsy diciptakan?

Si penanya merasa ragu (atau tidak yakin), bahwa Allah Ta’ala ada di atas langit, seperti yang disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an maupun Sunnah. Sebagai alasan dari keraguan itu, dia melontarkan pertanyaan seputar “dimana Allah tinggal” sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy.

Dengan memohon karunia Allah, ilmu, dan petunjuk-Nya, mari kita kaji persoalan ini lebih jauh.

“Keruwetan Akal Membawa Keruwetan Jiwa”.
PERTAMA, dalil yang menyatakan bahwa Allah itu ada di atas Arasy setidaknya ada 7 ayat dalam Al Qur’an yang secara qath-i menjelaskan hal itu. Ia adalah: Surat Al A’raaf ayat 54, Yunus ayat 3, Ar Ra’du ayat 2, Thaha ayat 5, Al Furqan ayat 59, As Sajadah ayat 4, dan Al Hadid ayat 4. Bahkan dalam Surat Al Baqarah ayat 29 disebutkan: “Tsumma istawa ilas sama’i fasauwahunna sab’a samawaat” (kemudian Dia istiwa menuju ke langit, lalu Dia ciptakan 7 tingkat langit). Sebagai orang Muslim, sebelum kita berpikir masuk akal atau tidak, semestinya harus mengimani ayat-ayat ini. Kalau tidak demikian, berarti kita membuat syarat-syarat dalam keimanan kita. Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal ditolak. Janganlah demikian, sebab hal itu dianggap tidak tulus dalam beragama.

KEDUA, dalam ajaran Islam banyak perkara yang bersifat ghaib. Ghaib bisa karena waktu (misalnya peristiwa-peristiwa di masa lalu, atau di masa depan). Ghaib bisa karena ruang (misalnya letaknya sangat jauh, atau sangat kecil, sehingga tak tampak oleh penglihatan normal). Ghaib juga bisa karena wujudnya (misalnya ada makhluk halus yang tak tampak, padahal mereka ada dan eksis, seperti jin, Malaikat, ruh, dll.).

Di antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada pula yang tidak Dia ajarkan. Contoh, hanya sebagian saja dari ribuan Nabi dan Rasul yang disebutkan kisahnya dalam Kitabullah dan Sunnah. Terhadap berita-berita yang Allah ceritakan, ya kita imani; adapun yang tidak Dia ceritakan, kita menahan diri untuk tidak masuk ke wilayah itu, agar tidak  menjadi sesat karenanya. Na’udzubillah min dzalik.

Informasi atau ilmu tentang dimana posisi Allah Ta’ala sebelum Diri-Nya menciptakan langit dan Arasy, adalah termasuk hal-hal sangat ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-Nya. Kalau terhadap kisah Nabi-nabi tertentu yang tidak dikisahkan dalam Al Qur’an, kita mau menahan diri untuk tidak mengorek-ngorek kisah seperti itu; lalu bagaimana mungkin kita akan mempertanyakan posisi Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy? Apa perlunya? Kalau misalnya kita sudah tahu, apakah itu bisa meningkatkan keimanan, atau membuat akal justru semakin liberal dengan fantasi-fantasi ala Bani Israil lainnya?

KETIGA, dalam Al Qur’an atau Sunnah dijelaskan, bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas Arasy. Arasy itu ada di atas langit yang ke-7. Bagaimana cara Allah bersemayam di atas Arasy, hal itu merupakan perkara ghaib. Kita tidak boleh mengatakan, Allah disana “duduk”, “berdiri”, “menempel”, “mengambang”, dll. Karena memang semua itu tak dijelaskan oleh-Nya dan oleh Nabi-Nya Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Termasuk pertanyaan, apakah Arasy itu berupa ruang, udara kosong, dimensi nihil, atau apapun? Semua itu tidak usah dipikirkan dan ditanyakan. Dengan sendirinya, jika Istiwa’ Allah di atas Arasy tak usah ditanyakan, maka bagaimana keadaan Allah sebelum menciptakan Arasy, lebih tak perlu ditanyakan lagi.

KEEMPAT, munculnya pertanyaan, dimana Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy, hal ini lahir karena kesalahan berpikir sangat fatal, yaitu sejak awal sudah mempersepsikan Allah seperti makhluk. Misalnya, suatu saat kita melihat seekor burung hinggap di pohon depan rumah. Maka pikiran logis kita akan segera bergerak: “Dari mana nih burung? Kok pagi-pagi sudah nongol di depan rumah?” Nah, untuk makhluk, kita bisa berpikir seperti itu, karena makhluk terikat oleh hukum-hukum Sunnatullah yang berlaku atasnya. Dalam masalah makhluk kita selalu berpikir “darimana ini”, “akan kemana”, “nanti menjadi apa”, “prosesnya bagaimana”, dll. Tetapi untuk Allah Ta’ala, Dia terbebas dari semua ikatan-ikatan hukum yang berlaku pada makhluk-Nya.

Kalau manusia memanjat, dia akan menjadi tinggi; kalau terjun ke bawah, akan menjadi rendah; kalau berlari akan menjadi cepat; kalau diam diri, dia tak bergerak; kalau kehujanan akan merasa dingin; kalau tertimpa terik sinar matahari, akan kepanasan. Manusia atau makhluk terikat hukum-hukum demikian. Tetapi Allah Ta’ala tidak terikat semua itu. Dia bisa berbuat apapun yang Dia inginkan, sehingga ada ayat Al Qur’an yang berbunyi: “Idza arada syai’an an yaqula lahu kun fa yakun” (kalau Dia menginginkan sesuatu, tinggal mengatakan “kun” maka jadilah apa yang Dia inginkan itu).

Bersemayamnya Allah di atas Arasy adalah bagian dari kehendak-Nya. Dia ingin apapun dan bagaimanapun, itu hak Dia sebagai Pencipta alam semesta dan kehidupan. Kita sebagai manusia tak punya hak mencampuri urusan Rububiyyah-Nya. Misalnya, sebelum menciptakan langit dan Arasy, Allah berkehendak demikian dan demikian, maka semua itu hak-Nya belaka. Kita tak bisa menolak atau mencampuri. Bila makhluk terikat oleh dimensi-dimensi, maka Allah tak terikat apapun. Dia mandiri dan independen. “Allahus Shamad” (Allah, bergantung kepada-Nya semua makhluk).

KELIMA, dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada kalanya dalam diri manusia timbul pikiran-pikiran aneh karena bisikan syaitan. Misalnya dia berpikir, bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Lalu siapa yang menciptakan Allah? Nabi menasehatkan, kalau ada bisikan-bisikan seperti itu, seorang Muslim cukup mengatakan, “Amantu billahi wa bi Rusulihi” (aku beriman kepada Allah dan kepada Rasul-rasul-Nya). HR. Imam Ahmad.

Dzat Allah sangat berbeda dengan makhluk-Nya. Allah menciptakan, tetapi tidak membutuhkan diciptakan. Allah adalah Awal, tetapi tanpa diawali. Dia ada, tanpa diadakan. Dia adalah Akhir, tetapi tanpa diakhiri. Allah bisa membolak-balikkan siang dan malam, gelap dan terang, panas dan dingin, sesuka diri-Nya. Jadi kita tidak perlu bertanya, “Siapa yang menciptakan Allah?” Sebab logika demikian hanya berlaku bagi makhluk-Nya. Allah Ta’ala ada tanpa diadakan, Dia kuasa tanpa diberi kekuasaan, Dia mencipta tanpa pernah terciptakan. Dia bisa membolak-balikkan dimensi-dimensi tanpa berkurang sedikit pun Kemuliaan dan Keagungan-Nya. Dia Tinggi tanpa ada yang lebih tinggi dari-Nya, Dia bisa turun tanpa menjadi lebih rendah. Allah tidak terikat sifat-sifat makhluk-Nya.

Kalau manusia mencari hal-hal di luar semua itu, ingin menerobos hakikat-hakikat seputar Sifat Rubibiyyah Allah; demi memuaskan hawa nafsu akalnya, jelas dia akan binasa. Na’udzubillah min dzalik. Ketahuilah, akal manusia dibatasi oleh hukum-hukum yang berlaku di alam semesta (universe). Sedangkan Allah bebas dari semua hukum-hukum itu. Sekali-kali, jangan memahami Allah dengan ukuran-ukuran makhluk-Nya.

KEENAM, ada logika yang diyakini sebagian orang, “Kalau Allah di atas Arasy, lalu dimana Dia sebelum Arasy itu diciptakan? Apakah Dia sebelumnya berada di suatu “tempat”, kemudian pindah ke atas Arasy? Mungkinkah Dzat Allah berpindah-pindah? Sungguh mustahil.” Logika demikian kan sangat kelihatan kalau si penanya berpikir dalam dimensi makhluk. Dia ingin memahami Allah dengan persepsi makhluk. Sebenarnya, Allah mau mengambil “posisi” dimanapun, itu hak Dia. Andaikan Allah tidak menunjuki diri-Nya di atas Arasy, tidak ada masalah bagi-Nya. Tetapi karena kasih-sayang Allah, di atas Keghaiban-Nya, Dia ingin memudahkan manusia memahami keghaiban itu, maka Dia berkehendak istiwa’ di atas Arasy. Dengan demikian, manusia mendapati satu kemudahan ketika ditanya “aina Allah” (dimana Allah). Maka kita bisa menjawab secara pasti: Fis sama’i ‘alal Arsy (di langit, di atas Arasy).

Mungkinkah Allah berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lain? Mula-mula, Anda harus bebaskan Dzat Allah dari ikatan-ikatan yang berlaku atas makhluk-Nya. Makhluk dibatasi oleh dimensi-dimensi, sedangkan Allah bebas dari semua itu. Kemudian, ingat selalu bahwa Allah memiliki Sifat Iradah (Maha Berkehendak). Kalau Allah berkehendak berbuat sesuatu, tidak ada satu pun yang mampu menghalangi-Nya. Seperti sebuah doa yang diajarkan oleh Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Allahumma laa mani’a li maa a’thaita, wa laa mu’thiya li maa mana’ta” (ya Allah, tidak ada yang sanggup menolak apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa menerima apa yang Engkau tolak).

Jika demikian, lalu bagaimana insan-insan yang lemah, otak-otak yang bodoh, dan hawa nafsu yang meluap-luap ini, hendak menolak Sifat-sifat Allah, jika Dia berkehendak terhadap sesuatu. Itulah bahayanya, cara-cara Takwil itu nantinya kerap kali menjadi jalan untuk mengingkari Sifat-sifat Allah. Mulanya Takwil, lama-lama menjadi Jahmiyyah atau Zindiqah (atheis). Na’udzubillah wa na’udzubillah min kulli dalik.

KETUJUH, para ulama sering mengatakan “tafakkaruu fi khalqillah wa laa tafakkaruu fi dzatillah” (silakan berpikir tentang ciptaan Allah, namun jangan berpikir tentang Dzat-Nya). Ungkapan seperti ini tidak mengada-ada. Bukannya manusia tak boleh berpikir tentang Allah, tetapi otaknya tak akan bisa memahami Dzat Allah dengan segala Sifat-Nya. Dalam Surat Al A’raaf ayat 143, Musa ‘Alaihissalam pernah meminta ingin melihat Dzat Allah. Kemudian Allah berkata kepada Musa, “Lan taraniy” (engkau tak akan sanggup melihat-Ku). Lalu Allah memperlihatkan diri-Nya kepada gunung, seketika itu gunung tersebut hancur berkeping-keping karena takut kepada Allah. Melihat gunung hancur, Musa langsung pingsan. Hal ini merupakan batas demarkasi sifat kebebasan manusia dalam mendayagunakan potensi dan kekuatan nalarnya. Manusia tak boleh melebihi ambang demarkasi itu, agar otak dan kehidupannya tidak menjadi binasa. Nas’alullah al ‘afiyah.

Singkat kata, dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arasy, semua itu adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy. Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelisik masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak akan sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti (dengan syarat, harus masuk syurga dulu).

Dalam pertanyaan seperti ini tak ada penjelasan yang bisa memuaskan akal secara sempurna, kecuali akal orang-orang beriman yang rela mengimani Kitabullah dan As Sunnah; serta tidak menjadikan otak-nya sebagai hukum dan agama, dalam kehidupan ini.

Semoga bermanfaat, berkenan, dan mendapat barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

[Abahnya Syakir]

Jumat, 03 Februari 2017

Syafaat dari sahabat yg soleh

# Tanyakan Aku Jika Kalian Tidak Menjumpaiku di Surga

Sahabatku yang shalih..
Terima Kasih dan Jazakumullahu khaira
Sudah menjadi sahabat yang shalih di dunia
Sama-sama saling Mengingatkan kampung abadi kita di Surga InsyaAllah

Engkau tentu ingat kita melangkah bersama ke majelis ilmu
Saling setoran hapalan Al-Quran bersama, Menghafal wazan bahasa Arab bersama,
Menjadi panitia kajian dan kegiatan sosial bersama
Saling Ingatkan agar kuliah sukses sebagai bentuk bakti kepada orang tua
Terlalu banyak kenangan bersama dalam ketaaan
Langkah bersama yang akan menjadi hujjah saling bertanya keberadaan kita di surga
Tentunya akan menjadi kenangan indah saat reuni di surga insyaAllah

Tanyakanlah jika engkau tidak menjumpaiku di surga

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata kepada sahabat-sahabatnya,

إن لم تجدوني في الجنة بينكم فاسألوا عني وقولوا : يا ربنا عبدك فلان كان يذكرنا بك

”Jika kalian tidak menemukan aku di surga, maka tanyakanlah tentang aku kepada Allah. Ucapkan: ’Wahai Rabb kami, hambaMu fulan, dulu dia pernah mengingatkan kami untuk mengingat Engkau.”
Kemudian beliau menangis.

Aku masih ingat engkau marah-marah kalau adzan dan aku masih bermalas-ria
Mimik khas wajahmu berubah tatkala aku bilang,
“Maaf, gak ada waktu kajian, sibuk kuliah dan kerja”
Apalagi ketika mulai menjauh dari kumpulan orang shalih dan majelis ilmu,
SMS-mu yang bertubi-tubi pasti datang untuk mendekatkan
Tatkala sudah jauh dan lingkungan kerjaku sekarang berbeda dengan lingkungan kuliah, banyak fitnah/ujian
Marahmu, mimik wajahmu dan SMS-SMSmu…
Kini aku rindukan

Setelah jauh baru aku sadar, siapa sahabatku yang sebenarnya…

ﺻﺪﻳﻘﻚ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ ﻻ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﻚ

“Shadiqaka man shadaqaka laa man shaddaqaka”

“Sahabat sejati-mu adalah yang senantiasa jujur (kalau salah diingatkan), bukan yang senantiasa membenarkanmu”

Tapi doakanlah aku
Di sini akan kan berusaha istiqamah dan mencari teman shalih lainnya
Kebersamaan kita dalam ketaatan dahulunya jadikanlah syafaat
Syafaatmu dengan menanyakan aku jika engkau tidak menjumpaiku di surga

Note:
1. Sahabat yang shalih bisa memberikan syafaat sahabatnya sehingga akan ditarik ke surga

Hasan Al- Bashri berkata,

استكثروا من الأصدقاء المؤمنين فإن لهم شفاعة يوم القيامة

”Perbanyaklah berteman dengan orang-orang yang beriman. Karena mereka memiliki syafaat pada hari klamat.” (Ma’alimut Tanzil 4/268)

2. Dalilnya adalah hadits, di mana mereka menyebut kebersamaan: pernah berpuasa, shalat dan haji BERSAMA

Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang syafaat di hari kiamat,

حتى إذا خلص المؤمنون من النار، فوالذي نفسي بيده، ما منكم من أحد بأشد مناشدة لله في استقصاء الحق من المؤمنين لله يوم القيامة لإخوانهم الذين في النار، يقولون: ربنا كانوا يصومون معنا ويصلون ويحجون، فيقال لهم: أخرجوا من عرفتم، فتحرم صورهم على النار، فيخرجون خلقا كثيرا قد أخذت النار إلى نصف ساقيه، وإلى ركبتيه، ثم يقولون: ربنا ما بقي فيها أحد ممن أمرتنا به، فيقول: ارجعوا فمن وجدتم في قلبه مثقال دينار من خير فأخرجوه، فيخرجون خلقا كثيرا، ثم يقولون: ربنا لم نذر فيها أحدا ممن أمرتنا…

Setelah orang-orang mukmin itu dibebaskan dari neraka, demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon: Wahai Tuhan kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji.

Dijawab: ”Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka.

Para mukminin inipun MENGELUARKAN BANYAK SAUDARANYA yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.

Kemudian orang mukmin itu lapor kepada Allah, ”Ya Tuhan kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.”

Allah berfirman, ”Kembali lagi, keluarkanlah yang masih memiliki iman seberat dinar.”

Maka dikeluarkanlah orang mukmin banyak sekali yang disiksa di neraka. Kemudian mereka melapor, ”Wahai Tuhan kami, kami tidak meninggalkan seorangpun orang yang Engkau perintahkan untuk dientas…” (HR. Muslim no. 183).

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

https://muslimafiyah.com/tanyakan-aku-jika-kalian-tidak-menjumpaiku-di-surga.html

Sabtu, 28 Januari 2017

Pembagian Tauhid Menurut Imam Syafi'i

Imam Syafi’i Menetapkan Pembagian Tauhid Menjadi tiga

Tauhid merupakan perkara yang sangat penting sekali. Karenanya, Allah menciptakan manusia dan Jin, karenanya Allah mengutus para utusan dan menurunkan kitab-kitab, karenanya Allah menciptakan surga dan neraka, karenanya Allah menganjurkan jihad.

Maka hendaknya seorang muslim untuk memprioritaskan dan mencurahkan tenaganya pertama kali untuk mempelajari tauhid. Allah berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak diibadati selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (QS. Muhammad:19)

Berdasarkan penelitian yang seksama terhadap dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits Nabi, para ulama menyimpulkan bahwa tauhid terbagi menjadi tiga:

Tauhid Rububiyyah
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Asma’ wa Shifat
Pembagian ini bukanlah perkara baru/bid’ah apalagi menyerupai agama trinitas[1], tetapi pembagian ini berdasarkan penelitian terhadap dalil. Hal ini persis dengan pembagian para ulama ahli bahasa yang membagi kalimat menjadi tiga: isim, fi’il dan huruf.[2].

Banyak sekali ayat ayat yang menjelaskan tiga macam tauhid ini, bahkan dalam surat Al-Fatihah terkandung tiga macam permbagian tauhid.

Demikian juga, banyak ucapan para ulama salaf[3] yang menunjukkan pembagian ini, seandainya kami menukilnya niscaya akan mempertebal buku ini, cukuplah di antaranya ucapan Imam Syafi’i tatkala berkata:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرِ ثُمَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُوْنَ…  وَلاَ يَبْلُغُ الْوَاصِفُوْنَ كُنْهَ عَظَمَتِهِ الَّذِيْ هُوَ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ وَفَوْقَ مَا يَصِفُهُ بِهِ خَلْقُهُ

“Segala puji hanya bagi Allah yang mencipatakan langit-langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya kemudian orang-orang kafir menyimpang… Dan orang-orang yang mensifatkan tentang keagunganNya tidak akan bisa sampai seperti apa yang Dia sifatkan pada diriNya dan lebih dari apa yang disifatkan oleh makhlukNya”. [4]

Ucapan beliau “yang menciptakan langit dan bumi…” ini adalah tauhid rububiyyah.
Ucapan beliau “kemudian orang-orang kafir menyimpang” ini adalah tauhid uluhiyyah karena penyimpangan mereka bukan pada tauhid rububiyyah tetapi dalam uluhiyyah.
Ucapan beliau “orang-orang yang mensifatkan tentang keagunganNya…” ini adalah tauhid asma’ wa shifat.
Tauhid Rububiyyah

Demikian juga Imam Syafi’i, beliau telah menegaskan akan tauhid rububiyyah ini. Dikisahkan bahwa pernah ada tujuh belas orang zindiq menghadang Imam Syafi’i di jalan Ghoza, lalu mereka bertanya: “Apa dalil adanya Pencipta?” Syafi’i berkata: Seandainya saya menyebutkan padamu bukti yang kuat, apakah kalian akan beriman? Mereka berkata: “Ya”. Syafi’i berkata: “Daun pohon tut, warna dan rasanya sama, namun ketika dimakan oleh beberapa makhluk kenapa keluarnya berbeda, kalau dimakan lebah jadinya madu dan kalau dimakan kambing jadinya kotoran, tentu semua itu pasti ada yang mengaturnya”.

Beliau juga berkata: “Saya melihat sebuah benteng yang kuat dan mulus tanpa retak sedikitpun, luarnya seperti perak dan dalamnya seperti emas dan temboknya sangat kuat sekali, kemudian saya melihat dinding tersebut pecah dan keluar darinya seekor hewan yang bisa mendengar dan melihat. Pasti semua itu ada yang mengatur. Benteng kuat tersebut adalah telur dan hewannya adalah ayam”.[5]

Imam Syafi’i juga sering melantunkan bait-bait syair sebagai berikut:

فَيَا عَجَبًا كَيْفَ يُعْصَى الإِلَهُ                   أَمْ كَيْفَ يَجْحَدُهُ الْجَاحِدُ

وَفِيْ كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ                     تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ وَاحِدُ

Aduhai bagaimana Allah dimaksiati

Atau bagaimana seorang mengingkarinya

Dalam segala sesuatu terdapat tanda

Yang menunjukkan bahwa Allah adalah Esa.[6]

[1] Dr. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad menulis sebuah kitab berjudul “Al-Qoulus Sadid fir Raddi Ala Man Ankara Taqsima Tauhid” (bantahan bagus untuk para pengingkar pembagian tauhid). Dalam kitab tersebut, beliau menyebutkan dalil-dalil dan ucapan-ucapan ulama salaf yang menegaskan adanya pembagian tauhid ini dan membantah sebagian kalangan yang mengatakan bahwa pembagian tauhid ini adalah termasuk perkara bid’ah.

[2] Lihat At-Tahdzir Min Mukhtashorot Ash-Shobuni fi Tafsir hlm. 331 –ar-Rudud– oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dan Adhwaul Bayan 3/488-493 oleh Imam asy-Syinqithi.

[3] Dalam kitabnya “Al-Mukhtashorul Mufid fi Bayani Dalail Aqsami Tauhid”, Syaikh Dr. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad menukil ucapan-ucapan ulama salaf yang menetapkan klasifikasi tauhid menjadi tiga ini, seperti Imam Abu Hanifah (w 150 H), Ibnu Mandah (182 H), Ibnu Jarir  (310 H), ath-Thohawi (w 321 H), Ibnu Hibban (354 H), Ibnu Baththoh (387 H), Ibnu Khuzaimah (395 H), Ath-Thurtusi (520 H), al-Qurthubi (671 H). Lantas, akankah setelah itu kita percaya dengan ucapan orang yang mengatakan bahwa klasifikasi ini baru dimunculkan oleh Ibnu Taimiyyah pada abad ke delapan hijriyyah?!!! Fikirkanlah wahai orang yang berakal!!

[4] Ar-Risalah hlm. 7-8.

[5] Mufidul Ulum hlm. 25-27 oleh al-Qozwini, sebagaimana dalam Manhaj Imam Syafi’i fi Itsbatil Aqidah hlm. 325-326 oleh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab al-‘Aqil.

[6] Al-Manaqib 2/109 oleh al-Baihaqi.

_------_--------------_-------
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah adalah memurnikan seluruh macam ibadah hanya untuk Allah semata, baik ibadah lisan, hati, dan anggota badan. Tauhid inilah yang berisi kandungan Laa Ilaha Illa Allah yang berarti tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja.

Tauhid jenis inilah pembeda antara muslim dan kafir dan inilah hakekat tauhid yang sesungguhnya. Imam Syafi’i berkata:

سُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الْكَلاَمِ وَالتَّوْحِيْدِ، فَقَالَ: مُحَالٌ أَنْ نَظُنَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ عَلَّمَ أُمَّتَهُ الاسْتِنْجَاءَ، وَلَمْ يُعَلِّمْهُمْ التَّوْحِيْدَ، وَالتَّوْحِيْدُ مَا قَالَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ “، فَمَا عَصَمَ بِهِ الدَّمَ وَالْمَالَ حَقِيْقَةُ التَّوْحِيْدِ.

“Imam Malik pernah ditanya tentang kalam  masalah kalam dan tauhid, maka beliau menjawab: Mustahil kalau Nabi mengajarkan kepada umatnya tentang tata cara istinja’ (buang kotoran) tetapi tidak mengajarkan mereka tentang tauhid. Tauhid adalah apa yang dikatakan oleh Nabi: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan Laa Ilaha Illa Allah, apa yang dapat menjaga darah dan harta maka itulah hakekat tauhid”.[1]

Untuk menjaga kemurnian tauhid inilah, Imam Syafi’i juga mengingatkan secara keras dari segala bentuk kesyirikan yang dapat menodai kemurnian tauhid ini. Terlalu banyak contohnya, cukuplah akan saya nukil dua permasalahan saja sebagai contoh bukan untuk pembatasan:

1. Fitnah Kuburan

Ini adalah sebuah fitnah yang amat besar. Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Sumber penyembahan berhala adalah karena sikap berlebih-lebihan terhadap kuburan dan penghuninya”.[2]

Oleh karenanya, Nabi Muhammad dalam banyak haditsnya membendung segala sarana yang dapat menjurus kepada kesyirikan dengan melarang berlebih-lebihan terhadap kuburan[3], seperti hadits:

عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الأَسَدِيِّ قَالَ :  قَالَ لِيْ عَلِيُّ بْنُ أَبِيْ طَالِبٍ : أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِيْ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Dari Abu Hayyaz al-Asadi berkata: “Ali bin Abi Thalib berkata padaku: Maukah saya mengutusmu seperti Rasulullah mengutusku? Jangan tinggalkan patung kecuali kamu menghancurkannya dan kuburan yang yang tinggi kecuali kamu meratakannya”.[4]

عَنْ جَابِرٍ قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ اللهِ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Dari Jabir berkata: Rasulullah melarang kuburan dikapur, diduduki dan di bangun di atasnya”.[5]

Demikian juga para ulama yang mengikuti petunjuk beliau, termasuk di antara mereka adalah Imam Syafi’i, beliau mengatakan:

وَأُحِبُّ أَنْ لاَ يُبْنَى وَلاَ يُجَصَّصَ, فَإِنَّ ذَلِكَ يُشْبِهُ الزِّيْنَةَ وَالْخُيَلاَءَ, وَلَيْسَ الْمَوْتَ مَوْضِعٌ وَاحِدٌ مِنْهُمَا وَلَمْ أَرَ قُبُوْرَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَالأَنْصَارِ مُجَصَّصَةٌ … وَقَدْ رَأَيْتُ مِنَ الْوُلاَةِ مَنْ يَهْدِمُ بِمَكَّةَ مَا يُبْنَى فِيْهَا فَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيْبُوْنَ ذَلِكَ

“Saya suka agar kuburan itu tidak dibangun dan dikapur karena hal itu termasuk perhiasan dan kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan saya tidak mendapati kuburan orang-orang Muhajirin dan Anshor dibangun… Aku mendapati para imam di Mekkah memerintahkan dihancurkannya bangunan-bangunan (di atas kuburan) dan saya tidak mendapati para ulama mencela hal itu”.[6]

Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kuburan tidak ditinggikan dari tanah dengan sangat tinggi, namun hanya ditinggikan seukuran satu hasta. Ini adalah madzhab Syafi’i dan yang sependapat dengannya”. Lalu beliau menukil ucapan Imam Syafi’i di atas dan menyetujuinya.[7]

Al-Munawi berkata: “Mayoritas ulama Syafi’iyyah berfatwa tentang wajibnya menghancurkan segala bangunan di Qorofah (tempat pekuburan) sekalipun kubah Imam kita sendiri Asy-Syafi’i yang dibangun oleh sebagian penguasa”.[8].

2. Tabarruk (Ngalap Berkah)

Sesungguhnya Tabarruk atau yang biasa disebut dengan ngalap berkah ada dua:

2.1. Tabarruk masyru’ yaitu tabarruk dengan hal-hal yang disyari’atkan seperti Al-Qur’an, air zam-zam, bulan ramadhan dan sebagainya. Akan tetapi tidak boleh bertabarruk dengan hal-hal tersebut kecuali seizin syari’at, sesuai petunjuk Nabi dan dengan niat bahwa hal itu hanyalah sebab, sedangkan yang memberikan barokah adalah Allah, sebagaimana kata Nabi:

الْبَرَكَةُ مِنَ اللهِ

“Barokah itu (bersumber) dari Allah”.[9]

2.2. Tabarruk Mamnu’ yaitu tabarruk dengan hal-hal yang tidak disyari’atkan maka tidak boleh, seperti tabarruk dengan pohon, batu ajaib (!), kuburan, dzat kyai dan lain sebagainya.[10]

Simaklah ucapan Amirul mukminin Umar bin Khoththob tatkala berkata ketika mencium hajar aswad:

إِنِّى أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ ، وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Saya tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan bahaya atau manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu maka saya tidak menciummu.[11]

Imam Ibnul Mulaqqin berkata mengomentari atsar di atas: “Ucapan ini merupakan pokok dan landasan yang sangat agung dalam masalah ittiba’ (mengikuti) kepada Nabi sekalipun tidak mengetahui alasannya, serta meninggalkan ajaran Jahiliyyah berupa pegangungan terhadap patung dan batu, karena memang tidak ada yang dapat memberikan manfaat dan menolak bahaya kecuali hanya Allah semata, sedangkan batu tidak bisa memberikan manfaat, lain halnya dengan keyakinan kaum Jahiliyyah terhadap patung-patung mereka, maka Umar ingin memberantas anggapan keliru tersebut yang masih menempel dalam benak manusia”.[12]

Jenis tabarruk ini telah diiingkari secara keras oleh para ulama Syafi’iyyah. Menarik sekali dalam masalah ini apa yang dikisahkan bahwa tatkala ada berita sampai kepada telinga Imam Syafi’i bahwa sebagian orang ada yang bertabarruk dengan peci Imam Malik, maka serta merta beliau mengingkari perbuatan itu.[13]

Imam Nawawi berkata:

وَمَنْ خَطَرَ بِبَالِهِ أَنَّ الْمَسْحَ بِالْيَدِ وَنَحْوِهِ أَبْلَغُ فِي الْبَرَكَةِ فَهُوَ مِنْ جَهَالَتِهِ وَغَفْلَتِهِ لِأَنَّ الْبَرَكَةَ إِنَّمَا هِيَ فِيْمَا وَافَقَ الشَّرْعَ وَكَيْفَ يَنْبَغِي الْفَضْلَ فِيْ مُخَالَفَةِ الصَّوَابِ؟

“Barangsiapa yang terbesit dalam hatinya bahwa mengusap-ngusap dengan tangan dan semisalnya lebih mendatangkan barokah maka hal itu menunjukkan kejahilannya dan kelalaiannya, karena barokah itu hanyalah yang sesuai dengan syari’at. Bagaimanakah mencari keutamaan dengan menyelisihi kebenaran?!”.[14]

Al-Ghozali juga berkata:

فَإِنَّ الْمَسَّ وَالتَّقْبِيْلَ لِلْمَشَاهِدِ عَادَةُ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى

“Sesungguhnya mengusap-ngusap dan menciumi kuburan merupakan adapt istiadat kaum Yahudi dan Nashoro”.[15]

Demikianlah ketegasan para ulama Syafi’iyyah, lantas bandingkanlah hal ini dengan fakta yang ada pada kaum muslimin sekarang!!.

Faedah: Kedustaan Kisah Imam Syafi’i Ngalap Berkah di Kuburan Imam Abu Hanifah

Adapun apa yang dinukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau mengatakan: “Saya ngalap berkah dengan Abu Hanifah. Aku mendatangi kuburannya setiap hari. Apabila aku ada hajat, maka aku pergi ke kuburannya, sholat dua rokaat dan berdoa di sisi kuburan Abu Hanifah,  lalu tak lama dari itu Allah mengabulkan do’aku”. [16]

Kisah ini adalah kedustaan yang amat nyata. Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim berkata: “Ini adalah kedustaan yang sangat nyata bagi orang yang memiliki ilmu hadits… Orang yang menukil kisah ini hanyalah orang yang sedikit ilmu dan agamanya”. [17] Ibnu Qoyyim juga berkata: “Kisah ini termasuk kedustaan yang sangat nyata”.[18] Dalam kitab Tab’id Syaithon dijelaskan: “Adapun cerita yang dinukil dari Syafi’i bahwa beliau biasa pergi ke kuburan Abu Hanifah, maka itu adalah kisah dusta yang amat nyata”.[19]

Kisah ini dijadikan dalil oleh sebagian kalangan untuk melegalkan ngalap berkah yang tidak disyari’atkan[20] seperti ngalap berkah kepada kuburan-kubran orang shalih, padahal banyak bukti yang menguatkan kedustaan kisah ini, yaitu sebagai berikut.

Imam Syafi’i tatkala datang ke Baghdad, tidak ada di sana kuburan yang biasa didatangi untuk berdoa di sisinya.
Imam Syafi’i telah melihat di Hijaz, Yaman, Syam, Iraq dan Mesir kuburan-kuburan para Nabi, sahabat dan tabi’in yang tentunya mereka lebih utama daripada Abu Hanifah. Lantas, kenapa hanya pergi ke kuburan Abu Hanifah saja?
Imam Syafi’i telah menegaskan dalam Al-Umm 1/278 bahwa beliau membenci pengagungan kubur karena khawatir fitnah dan kesesatan. Maksud beliau dengan pengagungan yaitu sholat di sana atau berdoa di sisinya.[21]
Hal yang menguatkan bathilnya kisah ini adalah pengingkaran Imam Abu Hanifah terhadap meminta-minta kepada selain Allah. Dalam kitab Ad-Durr Al-Mukhtar dan kitab-kitab Hanafiyyah sering dinukil ucapan Imam Abu Hanifah: “Saya membenci seorang meminta kecuali hanya kepada Allah”. “Tidak boleh bagi seorangpun untuk meminta Allah kecuali dengan-Nya saja”. Dan tidak ragu lagi bahwa Imam Syafi’i mengetahui bahwa ini adalah pendapat Abu Hanifah dalam masalah tawassul. Lantas, bagaimana mungkin beliau bertawassul kepadanya padahal dia tahu bahwa Abu Hanifah membenci dan mengharamkannya? Ini tidak masuk akal sama sekali. Bahkan hal itu akan membuat murka Imam Abu Hanifah. Semua itu adalah mustahil dan kedua Imam ini berlepas diri dari kisah dusta ini. Namun, apa yang kita katakan kepada para pendusta?! Hanya kepada Allah kita mengadu. Ya Allah, kami berlepas diri dari apa yang mereka perbuat.[22]
Setelah itu, maka janganlah engkau dengarkan apa yang dikatakan oleh al-Kautsari bahwa sanad kisah ini adalah shohih[23], karena ini termasuk kesalahannya.

Demikianlah dua contoh saja, masih banyak sebenarnya contoh-contoh lainnya yang menunjukkan kegigihan Imam Syafi’i dalam menjaga tauhid dan memberantas kesyirikan.[24]

Sumber : Makalah Dauroh Akbar Medan 2011
[1] Siyar A’lam Nubala 3/3282 oleh adz-Dzahabi.

[2] Al-Bidayah wa Nihayah 5/703.

[3] Lihat bid’ah-bid’ah kuburan secara bagus dalam kitab Bida’ul Qubur Anwa’uha wa Ahkamuha oleh Syaikh Shalih bin Muqbil al-‘Ushaimi. Dan lihat masalah kuburan di masjid secara bagus dalam Syarh Shudur fi Tahrimi Rof’il Qubur oleh asy-Syaukani dan Tahdzir Sajid ‘an Ittihodzil Qubur  Masajid oleh Syaikh al-Albani.

[4] HR. Muslim: 2239.

[5] HR. Muslim: 2240.

[6] Al-Umm 1/277.

[7] Syarah Shahih Muslim 7/40-41.

[8] Faidhul Qodir 6/309.

[9] HR. Bukhori 3579.

[10] Lihat masalah tabarruk secara luas dan bagus dalam kitab “At-Tabarruk Anwa’uhu waa Ahkamuhu” oleh DR. Nashir bin Abdirrahman al-Judai’.

[11] HR. Bukhori 1597 dan Muslim 1270.

[12] Al-I’lam bi Fawa’id Umadatil Ahkam 6/190. Lihat komentar indah para ulama madzhab Syafi’i lainnya tentang atsar ini dalam Juhud Syafi’iyyah fi Taqrir Tauhidil Ibadah oleh DR. Abdullah al-‘Anquri hlm. 582-584.

[13] Lihat Manaqib Syafi’i 1/508 oleh al-Baihaqi dan Syarh Arba’in Al-‘Ajluniyyah hlm. 262-263 oleh Syaikh Jamaluddin al-Qosimi.

[14] Al-Majmu’ Syarh Muhadzab 8/275.

[15] Ihya’ Ulumuddin 1/271.

[16] Kisah ini dicantumkan oleh Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad 1/123 dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrahim dari Ali bin Maimun dari asy-Syafi’i. Riwayat ini adalah lemah, bahkan bathil, karena Umar bin Ishaq tidaklah dikenal dan tidak disebutkan dalam kitab-kitab perawi hadits. (Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 1/78 oleh al-Albani).

[17] Iqtidho’ Shirthil Mustaqim 2/685-686.

[18] Ighotsatul Lahfan 1/399.

[19] At-Tawashul Ila Haqiqoti Tawassul hlm. 339-340.

[20] Persis dengan kisah ini juga kisah tentang tabarruknya Imam Syafi’i dengan bajunya Imam Ahmad bin Hanbal. Kisah ini dibawakan oleh Ibnul Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal hlm. 609-610. Dan kisah ini adalah kisah yang tidak shohih. (Lihat Siyar A’lam Nubala’ 12/587-588 oleh adz-Dzahabi, At-Tabarruk hlm. 386-387 oleh Dr. Nashir al-Juda’I, Qoshoshun Laa Tatsbutu 4/85-90 oleh Yusuf al-‘Atiq).

[21] Lihat Iqtidho’ Shirathil Mustaqim 2/686 oleh Ibnu Taimiyyah dan At-Tabarruk hlm. 345 oleh Dr. Nashir al-Judai’.

[22] Qoshoshun Laa Tatsbutu 2/85-86 oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Salman.

[23] Maqolat Al-Kautsari hlm. 381.

[24] Lihat secara luas masalah ini dalam Juhud Syafi’iyyah fi Taqrir Tauhid Ibadah oleh Dr. Abdullah al-‘Unquri, Bayanu Syirki ‘Inda Ulama Syafi’iyyah oleh Dr. Abdurrahman al-Khumais, Imam Syafi’i Menggugat Syirik oleh akhuna al-Fadhil al-Ustadz Abdullah Zaen.

--------------

Tauhid Asma’ wa Shifat
Tauhid asma wa shifat adalah mengimani nama dan sifat Allah yang telah disebutkan Al-Qur’an dan hadits yang shohih tanpa tahrif (pengubahan), ta’thil (pengingkaran), takyif (membagaimanakan), maupun tamtsil (penyerupaan).

Imam Syafi’i berkata:

نُثْبِتُ هَذِهِ الصِّفَاتِ الَّتِي جَاءَ بِهَا الْقُرْآنُ, وَوَرَدَتْ بِهَا السُّنَّةُ، وَنَنْفِي التَّشْبِيْهَ عَنْهُ كَمَا نَفَى عَنْ نَفْسِهِ، فَقَالَ: (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ) [ الشورى: 11.]

“Kita menetapkan sifat-sifat ini yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan  As-Sunnah dan kita juga meniadakan penyerupaan sebagaimana Alloh meniadakan penyerupaan tersebut dari diri-Nya dalam firmanNya (yang artinya) : Tidak ada sesuatupun yang serupa dengannya”.(QS.Asy-Syuro: 11).[1]

Imam Syafi’i juga berkata:

آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ, وَآمَنْتُ بِرَسُوْلِ اللهِ وَمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ

“Saya beriman kepada Allah dan apa yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Dan saya beriman kepada Rasulullah dan apa yang datang dari Rasulullah sesuai maksud Rasulullah”.[2]

Imam Ahmad bin Abdul Halim berkata: “Apa yang dikatakan oleh Syafi’i ini adalah kebenaran yang wajib bagi setiap muslim untuk meyakininya. Barangsiapa yang meyakininya dan tidak menentangnya maka dia telah menempuh jalan keselamatan di dunia dan akherat”.[3]

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dalam ucapan Imam Syafi’i ini terdapat bantahan bagi ahli takwil (memalingkan arti) dan ahli tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk) karena keduanya tidak mengimani apa yang datang dari Allah dan rasulNya karena ahli takwil mengurangi dan ahli tamtsil menambah”.[4]

Imam Ibnu Katsir berkata: “Dan telah diriwayatkan dari Ar-Robi’ (seorang murid senior Imam Syafi’i) dan beberapa sahabat seniornya yang menunjukkan bahwasannya beliau (Imam Syafi’i) menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits (yang menyebutkan) sifat-sifat Alloh seperti apa adanya tanpa takyif (membagaimanakan), tasybih (penyerupaan), ta’thil (pengingkaran) maupun tahrif (pengubahan) sesuai dengan metode salaf”.[5]

Imam Ibnu Katsir mengatakan ketika menafsirkan ayat istiwa dalam surat Al-A’rof: 54: “Manusia dalam menyikapi masalah ini memiliki banyak pendapat, bukan di sini tempat untuk memaparkannya, hanya saja ditempuh dalam masalah ini jalan salaf shalih, Malik, al-Auza’i, Tsauri, Laits bin Sa’ad, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rohawaih dan selain mereka dari para imam kaum muslimin dahulu hingga sekarang yaitu menjalankannya sebagaimana datangnya tanpa takyif (membagaimanakan), tasybih (penyerupaan), ta’thil (pengingkaran). Apa yang terlintas dalam benak orang-orang yang menyerupakan harus dibesihkan dari Allah karena Allah tidak ada yang menyerupaiNya sesuatupun, bahkan sebagaimana kata para imam –diantaranya adalah Nu’aim bin Hammad guru Imam Bukhori- : “Barangsiapa menyerupakan Allah dengan makhlukNya maka kafir dan barangsiapa yang mengingkari sifat Allah yang ditetapkan maka kafir dan tidaklah menetapkan apa yang Allah sifatkan pada diriNya dan juga Rasulullah merupakan suatu penyerupaan”. Barangsiapa menetapkan ayat-ayat dan hadits shohih bagi Allah sesuai dengan kebesaran Allah dan mensucikan Allah dari segala cacat maka dia telah menempuh jalan petunjuk”.[6]

Berikut ini kita ambil dua contoh aqidah Imam Syafi’i dalam masalah ini:

1. Sifat Tinggi

Imam Syafi’i meyakini ketinggian Allah di atas Arsy-Nya. Imam al-Baihaqi berkata setelah membawakan dalil-dalil yang banyak tentang masalah ini: “Atsar-atsar salaf tentang hal ini sangat banyak sekali. Dan inilah madzhab dan keyakinan Imam Syafi’i”.[7]

Imam Syafi’i berdalil dengan hadits Mu’awiyah bin Hakam dalam beberapa kitabnya. Di antaranya beliau berkata:

وَأُحِبُّ  إِلَى أَنْ لاَ يَعْتِقَ إِلاَّ باَلِغَةً مُؤْمِنَةً, فَإِنْ كَانَتْ أَعْجَمِيَّةً فَوَصَفَتِ الإِسْلاَمَ أَجْزَأَتْهُ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِلاَلٍ ابْنِ أُسَامَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَنَّهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ جَارِيَةً لِيْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ فَجِئْتُهَا وَفَقَدْتُ شَاةً مِنَ الْغَنَمِ فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا فَقَالَتْ : أَكَلَهَا الذِّئْبُ فَأَسَفْتُ عَلَيْهَا وَكنُتْ ُمِنْ بَنِيْ آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأَعْتِقُهَا؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم (أَيْنَ اللهُ؟) فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ فَقَالَ (مَنْ أَنَا؟) فَقَالَتْ : أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ, قَالَ : (فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ).

“Saya suka agar tidak memerdekakan budak kecuali budak yang sudah baligh dan mukminah. Seandainya dia non arab kemudian bersifat Islam maka sudah mencukupi. Mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal bin Usamah dari Atho’ bin Yasar dari Umar bin Hakam[8] berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi صلى الله عليه وسلم bertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.[9]

Imam Ad-Dzahabi berkata:

فَفِيْ الْخَبَرِ مَسْأَلَتَانِ: إِحْدَاهُمَا: مَشْرُوْعِيَّةُ قَوْلِ الْمُسْلِمِ أَيْنَ اللهُ؟ وَثَانِيْهَا: قَوْلُ الْمَسْؤُوْلِ: فِيْ السَّمَاءِ. فَمَنْ أَنْكَرَ هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَإِنَّمَا يُنْكِرُ عَلَى الْمُصْطَفَى صلى الله عليه وسلم

Dalam hadits ini terdapat dua masalah:

–      Pertama: Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim; Dimana Allah?[10]

–      Kedua: Jawaban orang yang ditanya: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi”[11].

Mari kita renungi ucapan berikut:

قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ أَلْفُ دَلِيْلٍ أَوْ أَزْيَدُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ

“Sebagian kawan senior Syafi’i mengatakan: “Dalam Al-Qur’an terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas makhluk dan Allah di atas hambaNya”.[12].

2. Sifat Turun

الْقَوْلُ فِي السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ أَصْحَابَنَا عَلَيْهَا أَهْلَ الْحَدِيْثِ الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ  وَأَخَذْتُ عَنْهُمْ مِثْلَ سُفْيَانَ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَيَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كَيْفَ شَاءَ.

“Pendapat dalam sunnah[13] (aqidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawanku ahli hadits yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas Arsy-Nya di langitNya dekat dengan para hambaNya sekehandak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendakNya”.[14]

Aqidah beliau ini berdasarkan hadits yang mutawatir tentang sifat turunnya Allah:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [15].

Demikianlah metode Imam Syafi’i dalam aqidah asma’ wa shifat, beliau menetapkan setiap nama dan shifat yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi yang shohih. Maka perluaslah kaidah ini dalam masalah-masalah lainnya yang serupa.[16] Dan perlu kita ingat bahwa bahasa dan sastra Imam Syafi’i adalah tinggi dan hujjah sebagaimana diakui oleh para pakar bahasa Arab[17], namun sekalipun demikian kita tidak mendapati beliau merubah dan memalingkan makna ayat dan hadits dari dhohirnya tanpa dalil. Maka fikirkanlah!!.

Sumber : Makalah Dauroh Akbar Medan 2011
[1] Thobaqot Hanabilah 1/283-284 oleh Al-Qodhi Ibnu Abi Ya’la, Siyar A’lam Nubala 3/3293 oleh adz-Dzahabi, Manaqib Aimmah Arbaah hlm. 121 oleh Ibnu Abdil Hadi, I’tiqad Imam Syafi’i hlm. 21 oleh al-Hakkari, Dan kitab aqidah Imam Syafi’i karya al-Hakkari ini betul-betul sah dari Imam Syafi’i. Barangsiapa yang menyangka bahwa penisbatan aqidah ini tidak sah maka dia salah. (Lihat Qa’idah Muhimmah Fima Dhohiruhu Ta’wil Min Sifat Robb hlm. 27 oleh Syaikh ‘Amr bin Abdul Mun’im).

[2] Dibawakan oleh Ibnu Qudamah dalam Dzammu Ta’wil hlm. 9 dan Lum’atul I’tiqod hlm. 36 –Syarh Ibnu Utsaimin-

[3] Ar-Risalah Al-Madaniyyah –Majmu Fatawa- 6/354.

[4] Syarh Lum’atil I’tiqod hlm. 37.

[5] Al-Bidayah wan Nihayah 5/694.

[6] Tafsir Al-Qur’anil Azhim 3/426-427.

[7] Al-Asma wa Shifat 1/517.

[8] Dalam sanad imam Malik tertulis “Umar bin Hakam” sebagai ganti dari “Mu’awiyah bin Hakam”. Para ulama’ menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan imam Malik. Imam As-Syafi’i berkata -setelah meriwayatkan hadits ini dari imam Malik- : “Yang benar adalah Mua’wiyah bin Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya”. (Ar-Risalah hlm. 7-8)

Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Demikianlah perkataan Malik dalam hadits ini dari Hilal dari Atha’ dari  Umar bin Hakam. Para perawi darinya (Malik) tidak berselisih dalam hal itu. Tetapi hal ini termasuk kesalahan beliau (Malik) menurut seluruh ahli hadits karena tidak ada sahabat yang bernama Umar bin Hakam, yang ada adalah Mu’awiyah (bin Hakam). Demikianlah riwayat seluruh orang yang meriwayatkan hadits ini dari Hilal. Mua’wiyah bin Hakam termasuk dari kalangan sahabat yang terkenal dan hadits ini juga masyhur darinya. Diantara ulama’ yang menegaskan bahwa Malik keliru dalam hal itu adalah Al-Bazzar, At-Thahawi dan selainnya”. (At-Tamhid 9/67-68 dan lihat pula Syarh Az-Zurqani (4/106) dan Tanwir Hawalik (2/140) oleh as-Suyuthi).

[9] Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Juz’ul Qiro’ah hlm. 70, Muslim dalam Shahihnya 537, Ahmad 5/448, Malik dalam Al-Muwatho’ 2/772, asy-Syafi’i dalam Ar-Risalah no. 242 dll. Lihat takhrij secara luas tentang hadits ini, komentar ulama ahli hadits tentangnya dan pembelaan ulama terhadanya dalam buku “Di Mana Allah? Oleh Ust. Abu Ubaidah, hlm. 53-62. Lihat pula kitab khusus tentang hadits ini yaitu Ainallah? Difa’ an hadits Jariyah oleh Salim al-Hilali dan Takhilul Ainain bi Jawaz Su’al Ainallah bil’ Ain oleh Dr. Shaodiq bin Salim.

[10] Imam Abdul Ghoni al-Maqdisi berkata: “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya di Mana Allah setelah ketegasan Rasulullah yang bertanya Di Mana Allah?! (Al-Iqtishod fil I’tiqod hlm. 89 dan Tadzkirotul Mu’tasi hlm. 89-90 Syarh Dr. Abdurrozzaq al-Badr).

[11] Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Adzim (hal. 81 -Mukhtasar Al-Albani-)

[12] Majmu’ Fatawa 1/121, Bayanu Talbis Jahmiyyah 1/555.

[13] Dari ucapan ini dapat dipetik faedah bahwa istilah sunnah sering digunakan oleh salaf bermakna aqidah, sebagaimana istilah ahli hadits merupakan istilah yang sudah popular pada mereka yang semakna dengan istilah Ahli Sunnah wal Jama’ah. Oleh karenanya, maka hendaknya bagi kita untuk menghidupkan nama ini, khususnya bagi kalangan para penuntut ilmu dan sejenis mereka. (Aqidah Imam Syafi’i –Jam’ul Funun- 2/12 oleh Dr. Muhammad bin Abdirrahman al-Khumais).

[14] Diriwayatkan oleh Syaikhul Islam al-Hakari dalam I’tiqod Imam Syafi’i hlm. 17, Abu Muhammad al-Maqdisi sebagaimana dalam Mukhtashor Al-Uluw hlm. 176. Dan disebutkan juga oleh Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah dalam Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hlm. 122, Ibnu Qudamah dalam Itsbat Shifatil Uluw hlm. 124 dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 4/181-183.

[15] HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.

[16] Lihat secara luas Manhaj Imam Syafi’i fi Itsbatil Aqidah oleh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab al-‘Aqil, I’tiqad Imam Syafi’i oleh al-Hakari, Aqidah Imam Syafi’i oleh Dr. Abdurrahman al-Khumais.

[17] Lihat Manaqib Syafi’i 2/41-59 oleh al-Baihaqi dan Tawali Ta’sis hlm. 96-97 .